Masjid Jami' Padang Sibusuk
Padang Sibusuk, sumbarsatu.com—Menurun dari lebuh aspal, sembilanpuluh sembilan tangga beton yang diberi pegangan besi membawa kita ke beranda Masjid Jami' di Jorong Kapalo Koto, Nagari Padang Sibusuk, Sijunjung.
Kita bisa menyebut Asmaul Husna saat bertangga turun ke masjid di bawah tebing itu--pun saat berjenjang naik. Tentu bisa pula mengatur nafas agar tak lelah, tak tergelincir dalam melangkah. Begitulah, urang tuo dulu menatanya dan memberi makna.
Menurut Muhammad Haskil (50), Masjid Jami' dibangun sekira awal abad 20 di atas sebuah mata air yang jernih dan tak pernah kering. Sekira 1930-an direnovasi jadi bangunan beton dua lantai.
"Bangunan yang asli dari Masjid Jami' kini tinggal tonggak bawah penyangga bangunan sekitar sepuluh buah. Yang lainnya sudah mengalami renovasi. Dulu, ada tangga melingkar ke ruang di dalam kubah, tempat mengumandangkan azan. Sejak ada mix dan toa ruang itu tak difungsikan. Sekarang sudah hilang karena berganti atap dan kubah," tutur Ketua Pengurus Masjid Jami' itu, Kamis (16/5/2019).
Tambahnya, sejak dulu jemaah di Masjid Jami' dari berbagai aliran. Tidak terpatut satu saja. Ada dari Tarbiyah Islamiyah, NU, Muhammadiyah, dan tarekat. Salah seorang ulama dari Masjid Jami' yang terkenal adalah H. Jainudin--wafat tahun 1960-an.
Ruang dalam Masjid Jami' berukuran 22 x 22 meter. Tonggak-tonggak di lantai bawah diukir kaligrafi nama kalifah nan empat dan mazhab nan empat pula. Hawa sejuk pun memenuhi ruangan. Sebab di bawahnya adalah mata air yang jernih dan tidak pernah kering.
Dialirkan ke dalam bak di sekitar masjid, mata air itu menjadi sumber air bersih bagi penduduk. Mereka menggunakannya untuk berwudhu, aia masak (air minum), mandi, dan mencuci pakaian.
"Tim kesehatan Kabupaten Sijunjung pernah melakukan survei air di Masjid Jami' sekitar awal tahun 1990. Mereka menyatakan airnya bersih dan bisa langsung diminum. Kadang-kadang, ada masyarakat yang mengambil airnya untuk pengobatan," kata Haskil.
Ada masyarakat yang mempercayai mata air di bawah masjid itu asalnya dari mata air besar di bawah pohon beringin gadang di tepi Jalan Lintas Sumatera, Jorong Kapalo koto, Nagari Padang Sibusuk.
Apabila rimbun daun beringin gadang itu, maka besar air di Masjid Jami'. Begitu pula sebaliknya.
Uniknya adalah cerita tentang orang Taiwan tak bisa menebang beringin gadang itu ketika membangun Jalan Lintas Sumatera. Mesin potongnya macet.
Lalu, orang Taiwan itu dalam mimpinya ditemui oleh urang gaek berjubah yang melarang untuk tidak menebang beringin gadang itu. Sebab di bawahnya terdapat mata air besar yang menjadi pusat mata air di Nagari Padang Sibusuk.
"Ada juga masyarakat yang mengatakan sumber air Masjid Jami' itu berasal dari patahan Batang Piruko yang mengalir di bawah tanah. Entah mana yang benar," ujar Haskil.
Ruang Ibadah, Sosio-kultural, dan Perjuangan
Sejak jaman saisuak Masjid Jami' Padang Sibusuk tak semata-mata difungsikan sebagai tempat ibadah. Akan tetapi juga ruang sosio-kultural masyarakat.
Bahkan, menurut manuskrip Perjuangan Anak Nagari Padang Sibusuk dalam Merintis dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang disusun oleh N. Sutan Makmur, disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia diumumkan di Masjid Jami' dalam sebuah ceramah pada Kamis malam, 23 Agustus 1945.
Maka, dikibarkan bendera merah putih oleh masyarakat di pasar Padang Sibusuk pada Sabtu pagi, 25 Agustus 1945. Mereka melakukan itu tanpa takut, meski diawasi oleh tentara Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II.
Padang Sibusuk merupakan salah satu nagari pelopor perlawanan Serikat Islam Merah 1926/1927 terhadap kolonial Belanda di Sawahlunto. Mereka yang terlibat dalam perlawanan itu diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 karya Audrey Kahin (YOI, 2005), disebutkan bahwa perlawanan Serikat Islam Merah 1926/1927 menewaskan Letnan Simon (Belanda) di perlintasan rel kereta api di Padang Sibusuk.
Sutan Makmur dalam manuskripnya mencatat, komandan kompi tentara Belanda Letnan Simon itu tewas dalam pertempuran antara pasukan Belanda dari Van der Capellen (Batusangkar) dengan pasukan Front Timur (Padang Sibusuk dan Tanjung Ampalu) dibawah pimpinan M. Zein di Sililie, Padang Sibusuk, 1 Januari 1927.
Manuskrip itu ditulis oleh N. Sutan Makmur berdasarkan wawancara dengan para pelaku sejarah tersebut.
Lazimnya masjid dan surau di Minangkabau adalah satu satu tempat musyawarah menyangkut hajat orang banyak. Dulu, juga merupakan bagian perlawanan terhadap kolonial.
Tentu Masjid Jami' sebagai ruang publik, baik untuk beribadah maupun aktivitas sosio-kultural, memiliki peran pula dalam gerakan merintis kemerdekaan Indonesia itu. Sebab perang melawan penjajahan diyakini umat Islam sebagai jihad.
Kini, Masjid Jami' Padang Sibusuk masih berdiri kokoh di atas mata air nan tak pernah kering ditimba dari jaman ke jaman. (SSC/Thendra)