
Surat Gubernur Sumbar
OLEH Hasril Chaniago
Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar ini kiranya cukup mengejutkan, paling tidak bagi saya yang juga seorang petani, karena terkesan sedang manjalankan praktek "Tanam Paksa Padi" kepada petani dan pemilik sawah di Sumatera Barat.
Banyak hal yang tidak bijak dari kebijakan ini. Pertama, kewajiban petani menanam kembali paling lambat 15 hari setelah panen. Apakah petani atau pemilik lahan bisa dipaksa begitu saja di atas lahan milik mereka atau kaum mereka.
Kedua, sistem bagi hasil yang ditetapkan dalam SE tersebut. Setelah seluruh biaya dikembalikan kepada pengelola (Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan), keuntungan dibagi 20 persen untuk petani dan 80 persen untuk pengelola.
Pola bagi hasil ini jelas menyalahi pola yang selama ini biasa di masyarakat yang disebut perseduaan (pasaduo), di mana modal ditanggung oleh pemilik lahan dan seluruh hasil setelah dipotong biaya panen dibagi dua dengan penggarap.
Kalau modal (pupuk, bibit dan biaya panen) ditanggung seluruhnya oleh penggarap, maka pemilik lahan dapat 1/3 dari seluruh hasil panen. Itu sistem bagi hasil yang berlaku di nagari-nagari di Sumatera Barat.
Jadi, menurut hemat saya SE Gubernur Sumbar tidak tepat, tidak sesuai dengan sistem yang selama ini berlaku di masyarakat. Karena tidak mempertimbangkan aspek sosial budaya dan tradisi di masyarakat, saya kira SE ini takkan bisa dijalankan. Kalau dipaksakan juga maka ia akan menjadi "sistem tanam paksa padi" meniru cultuure stelsel zaman penjajahan Belanda.
Saya tidak tahu, apa dan pikiran seperti apa, dari instansi mana, yang melatarbelakangi terbitnya SE Gubernur ini. Kesannya yang jelas tidak memahami kondisi pertanian padi yang ada di masyarakat.
Alangkah lebih bijaksana Gubernur atau Pemerintah Daerah melakukan pengkajian secara konprehensif lebih dulu tentang kondisi pertanian tanaman pangan khususnya padi sawah di negeri kita ini.
Ada banyak hal yang harus kita telisik lebih dulu terhadap kondisi sosial ekonom, infrastruktur, dan dukungan kebijakan yang telah diberikan kepada petani padi di daerah ini. Coba kita lihat keadaan sebagai berikut:
- Bagaimana jaringan irigasi di Sumatera Barat saat ini. Berapa persen jaringan irigasi yang baik, berapa pula luas lahan yang masih tadah hujan.
- Kebijakan pupuk bersubsidi untuk mendukung ketahanan pangan selama ini apakah sudah lancar kepada petani? Sebab, bukan rahasia, pupuk bersubsidi masih sering pindah ke kebun sawit atau ke sektor lain yabg tidak berhak membeli pupuk bersubsidi.
Alangkah bijaknya bila Pemprov bersama pemerintah kabupaten/kota se-Sumbar menganggarkan dalam APBD pemberian bantuan benih kepada patani daripada membuat SE yang tidak bijak ini. Selanjutnya lakukan pengawasan yang sungguh2 untuk distribusi pupuk bersubsidi.
Di atas semua itu, saya kira lebih penting kiranya mengkaji ulang secara menyeluruh kebijakan pertanian kita, apakah sudah pro terhadap petani?
SE model ini menurut saya hanya hasil kerja birokrat yang pemalas sehingga hanya mampu melihat jalan pintas untuk mencapai target pemerintah tanpa mempedulikan nasib petani sendiri.
Saya percaya, SE ini gagasannya bukan berasal dari gubernur langsung. Paling hanya dari kepala dinas. Gubernur hanya tanda tangan saja. Tapi kan harus tetap dipikirkan secara sungguh-sungguh sebelum diteken.