PBHI Sumatera Barat Kutuk dan Kecam Kekerasan Aparat pada Massa Aksi

Jum'at, 30/08/2024 20:11 WIB
[BHI

[BHI

Padang, sumbarsatu.com—PBHI Wilayah Sumatera Barat bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengutuk dan mengecam keras tindakan represif dan brutalitas aparat polisi kepada semua massa aksi yang terjadi di seluruh Indonesia.

Penggunaan gas air mata, pengunaan pentungan, dan memiting pengunjuk rasa sudah menjadi tren bagi aparat polisi dalam penanganan massa aksi. Sebut saja unjuk rasa “ “Reformasi Dikorupsi” pada 30 September 2019, aksi Kenaikan BBM” (2022), Tragedi Kanjuruhan, Dago Elos, Penggusuran Masyarakat Adat Rempang dan yang terbaru adalah aksi “Kawal Putusan MK” yang digelar di sejumlah daerah.

Unjuk rasa atau demonstrasi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945, UU HAM No. 39 Tahun 1999, UU No. 9 Tahun 1998, dan lainnya. Maka dari itu, tugas kepolisian justru adalah menghormati dan menjaga peserta unjuk rasa sebagaimana diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Pascaperistiwa Kanjuruhan, Polri telah mengevaluasi lembaganya sendiri terkait pelarangan gas air mata melalui Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pengamanan Kompetisi Olahraga, dimana Pasal 31 menegaskan pelarangan melakukan penembakan gas air mata, granat asap, dan senjata api apabila terjadi peningkatan eskalasi situasi apapun.

Moratorium penggunaan gas air mata adalah hal yang baik dan progresif, namun seharusnya tidak hanya ada dalam pengamanan kompetisi olahraga saja tapi juga dalam pengamanan dan pengendalian massa dalam situasi apapun.

"Kami sangat prihatin dan marah dengan tindakan aparat yang jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Setiap warga negara memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya secara damai tanpa takut diintimidasi atau diserang secara fisik," ujar Ihsan Riswandi, Ketua PBHI Sumatera Barat kepada sumbarsatu, Jumat 30 Agustus 2024..

Tindakan represif secara berlebihan dan serangan brutal lainnya oleh aparat dengan dalih keamanan dan tugas penegakan hukum sangat tidak dibenarkan. Anggota kepolisian wajib untuk mematuhi ketentuan yang berlaku (code of conduct) dan menghormati hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf j dan Pasal 44 ayat (1) Perkapolri No 8 Tahun 2009, bahwa Anggota Polri dilarang menggunakan kekerasan meski dengan dalih kepentingan umum.

Tindakan brutalitas serta pendekatan militeristik aparat pada saat menangani unjuk rasa “Mengawal Putusan MK dan Tolak RUU Pilkada” selama beberapa hari ini di seluruh Indonesia akhirnya menimbulkan korban. Di antaranya, hampir putusnya telinga seorang mahasiswa di Sulteng, rusaknya bola mata seorang mahasiswa di Bandung akibat lemparan batu yang diduga berasal dari arah polisi dan banyak lagi korban-korban lainnya yang mengalami kekerasan fisik oleh aparat kepolisian.

Serangan-serangan yang tidak terukur dari aparat tersebut adalah bagian dari pelanggaran HAM (violence by action ).

Pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan unjuk rasa “Peringatan Darurat Demokrasi” tersebut adalah penangkapan sewenang-wenang tanpa dasar pada saat rakyat menggunakan hak mereka untuk berpendapat dan mengekspresikan keresahan karena cita-cita demokrasi untuk menghasilkan kesejahteraan rakyat.

“Oleh rezim hari ini tidak tahu malu yang cuma mengenyangkan perut kroni-kroninya, membagi-bagi kekuasaan kepada kerabat-kerabatnya, serta rezim yang ringan tangan membungkam dan memenjarakan pikiran rakyat. Malah merasa tak bersalah menghilangkan nyawa rakyatnya. Selain itu, tindakan menghambat akses bantuan hukum terhadap massa aksi yang ditangkap,” urai Ketua PBHI Wilayah Sumatera Barat. SSC/ARA

Iklan

BACA JUGA