
OLEH Halim HD. (Networker-Organizer Kebudayaan)
DI ANTARA dua ratus lima puluh dewan kesenian (DK) di tingkat provinsi-kabupaten-kota yang menghadiri Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se Indonesia (MNDKI) pada November 2023 yang menghasilkan berbagai resolusi dalam kaitannya usaha untuk kembali mendudukan posisi-fungsi DK dalam pengembangan kebudayaan dan kesenian, dan gema dari hasil MNDKI itu
makin terasa dengan adanya dorongan untuk menciptakan jejajaring lokal dan nasional. Pada sisi lainnya terjadi pembenahan di sana-sini dalam konteks proses menciptakan relasi politik dengan pemda di tingkat provinsi-kabupaten-kota, terasa suara dan opini serta usulan dari wilayah Provinsi Sumatra Barat sama sekali tak terdengar.
Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) yang pernah mengalami suatu masa di mana kehidupan kesenian yang didukung oleh lembaga kesenian kaum seniman menjadi salah satu tolok ukur pemikiran dan produk kesenian dari wilayah Sumbar disuarakan dengan lantang, kini tak terdengar.
Kita tentu akan bertanya-tanya, ada apa pula gerangan dengan kaum seniman dan pelaku kebudayaan di Sumatra Barat? Apakah kaum seniman yang kini malang melaintang di berbagai daerah secara individual cukup dianggap sebagai wakil Sumatra Barat melalui berbagai produknya, misalnya fotografi, tari, musik? Apakah dengan kapasitas individual yang mampu menciptakan jejaring nasional dan internasional itu menganggap bahwa lembaga kesenian sejenis DK tak lagi dibutuhkan?
Kapasitas individual dan grup dalam menciptakann jejaring dengan masyarakat luas dan melintasi batas-batas wilayahnya merupakan suatu keberhasilan, dan perlu diacungi jempol. Tapi ada hal yang dilupakan, jika kaum seniman menganggap bahwa keberhasilan individual sebagai suatu ukuran. Sebab, tak semua seniman mampu dan bisa menciptakan jejaring dan paham dengan relasi mekanisme internasional. Rasa puas individual ini sesungguhnya haruslah justeru bisa mendorong seniman untuk bagaimana makin mengukuhkan keberhasilannya dengan cara bahwa dirinya hadir dan bisa melakukan sesuatu yang luas dengan melibatkan kaum seniman lainnya.
Pada sisi lainnya, sangat penting untuk memikirkan prinsip bahwa lembaga kesenian yang pernah ada sejak tahun 1970-an itu merupakan wujud dari musyawarah kaum seniman. Musyawarah kaum seniman inilah yang harusnya menjadi pijakan bagi tindakan kaum seniman untuk menciptakan ekosistem yang lebih favourable.
Tentu saja sinisme kepada DK selalu muncul dampak dari politik kebudayaan dan politik birokrasi pemda yang telah membekuk dan menciptakan kondisi DK menjadi tak produktif dan tak memiliki akar di lingkungannya. Dalam konteks ini justru kini kaum seniman harus makin menyadari bahwa bukan hanya hak tapi adalah kewajiban bagi kaum seniman untuk melakukan tindakan politik kebudayaan.
Suatu tindakan politik kebudayaan tak akan berhasil jika hanya dilakukan secara individual betapapun sang indisividu itu memiliki relasi kuat dengan elite lokal yang mengelola daerah. Hal terpenting, justru bagaimana kapasitas individual itu bisa secara intensif dan produktif membentuk jejaring sosial di lingkungannya.
Suatu lingkungan sosial tak akan pernah bisa berubah tanpa adanya suatu organisasi yang didukung oleh individu-individu yang menyadari bahwa kebersamaan di dalam tindakan politik adalah suatu prinsip dalam kehidupan kebudayaan. Kebersamaan merupakan unsur terpenting dalam musyawarah. Makna musyawarah ini bukan hanya sekedar ungkapan di ujung lidah tapi wujud dari semangat setiap kaum seniman untuk membentuk kerangka rumusan berpikir untuk
kehidupan kebudayaan yang akan datang. Melalui musyawarah itu bukan hanya dibentuknya kembali DK-DK di tingkat provinsi-kabupaten-kota tapi lebih dari itu mengandung arti bahwa melalui pembentukan kembali, revitalisasi DK-DK tersebut maka partisipasi politik kebudayaan yang akan disusun sebagai kontribusi kaum seniman dalam menyusun strategi kebudayaan nasional dan lokal.
Jika kita memandang realitas keseharian di dalam ruang sosial yang kita alami, dan kita merasakan ada sesuatu yang tak beres atau menyimpang, mislanya tata ruang publik bagi warga serta tata ruang perkotaaan dan perdesaan serta kampung, itulah salah satu masalah yang kini kita hadapi, Ketika komodifikasi ruang menjadi ruang-ruang ekonomis tanpa mempertimbangkan kebutuhan berekspresi warga. Dan di situlah sesungguhnya dibutuhkan posisi-fungsi DK-DK untuk memberikan masukan pemikiran. Termasuk di antaranya tata kelola kebudayaan yang selama ini dikelola secara birokratis.
Saatnyalah kini kaum seniman menyatukan gagasan, konsep dan langkah-langkah taktis dan strategis melalui organisasi yang dibentuknya melalui musyawarah. Dalam konteks ini pula betapa penting bagi kaum seniman jika memiliki organisasi dalam kaitannya kelembagaan bagi kaum seniman dalam wujud DK-DK sebagai think tank bagi pemda provinsi-kabupaten-kota, dan sekaligus memberikan maasukan kepada para elite serta politisi, bahwa masalah kebudayaan merupakan fundamen bagi pembentukan kepribadian.
Kita menyaksikan betapa miskinnya kaum politisi dan elite di dalam penyampaian pemikirannya yang berdampak kepada praktek dalam lingkungan sosialnya. Hal itu dikarenakan ketiadaan rekan bagi politisi untuk menguji pemikiran serta konsep yang akan diterapkan di dalam masyarakat.
Posisi dan fungsi DK-DK perlu dibangkitkan dan dikembangkan Kembali seiring dengan kepentingan kesadaran kita kepada arah kebudayaan nasional yang sedang terus berproses. Proses ini membutuhkan penggalian, pelacakan dan rangkuman serta rumusan pemikiran yang dihasilkan oleh kaum seniman melalui lembaganya. Jika kesadaran kelembagaan ini kian surut dan hilang, maka kendali kebudayaan hanya akan menjadi gimmick bagi kaum politisi dan kaum birokrat. Dan hanya menghasilkan produk-produk kebudayaan dan kesenian yang artifisial serta hanya sekedar seremonial.
Kaum seniman bersatulah, dan ajaklah kaum akademisi sebagai rekan dialog dan diskusi serta rekan dalam perumusan pemikiran strategis. Bersatu kita teguh, berserak kita lumpuh! ***