Penulis bersama Ismail Lee (Korea) dan Ahmed Soton (Bangladesh) di dalam Masjid Nabawi
SAYA baru saja selesai mengemasi barang di kamar hotel. Jam menunjukkan pukul setengah tiga. Masih ada kesempatan untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu Asar. Tapi Ahmed, teman asal Pakistan, mengingatkan untuk segera bersiap menuju masjid. “Waktu Asar masih lama,” ujar saya.
“Tidak. Kita harus berangkat lebih cepat kalau ingin salat di dalam masjid. Kalau terlambat, kita harus salat di luar, di halaman masjid,” ujarnya.
Kami segera berwudu dan berganti pakaian. Ahmed memakai baju gamis dengan celana panjang, model pakaian yang umum digunakan jamaah Pakistan dan Bangladesh. Ismail Lee mengenakan jubah putih panjang-lapang, layaknya orang Arab. Kedua sahabat saya itu rupanya telah menyiapkan dengan teliti segala kebutuhan untuk beribadah. Sementara saya berbaju kaos dengan celana panjang kanvas.
Perjalanan ke masjid dari hotel hanya butuh waktu tujuh menit dengan berjalan kaki. Masjid Nabawi berhalaman luas dengan lantai keramik. Dindingnya yang berwarna putih dengan aksen lengkungan hitam-putih. Di tengah lengkungan itu terdapat ventilasi berupa lubang kecil. Lengkungan yang berjejer warna hitam putih terlihat seperti mahkota yang biasa digunakan raja-raja Mesir Kuno. Seakan kita disambut para bangsawan Mesir begitu sampai di halaman masjid ini.
Dilihat dari segi bentuk arsitekturnya, masjid Nabawi tidaklah begitu istimewa dibanding masjid lain di dunia. Bentuk bangunannya berupa kotak persegi yang simetris. Di bagian tengah bangunan terlihat dua kubah besar, sementara di sudut-sudutnya menjulang menara-menara tinggi, dengan bentuknya yang lancip menusuk langit. Jutsru dengan bentuknya sederhana itu, Masjid Nabawi terasa memesona dan berwibawa
Masjid Nabawi dibangun Nabi Muhammad bersama para sahabat begitu beliau sampai di Madinah. Konstruksi pertamanya dibuat dari pohon dan pelepah kurma, tanaman yang banyak tumbuh di negeri Arab. Sebelumnya, Nabi membangun masjid di wilayah Quba’, sedikit di luar kota Madinah. Masjid Nabawi punya tempat khusus dalam Islam. “Salat di masjidku ini lebih utama (afdhal) seribu kali daripada salat di tempat lain, kecuali di Masjidil Haram”, kata Nabi dalam sebuah hadits (Shahih Bukhari: 1888). Jamaah tak ingin melewatkan kesempatan mendapatkan keutamaan seperti dinyatakan dalam hadits itu.
***
Kami menaruh sandal di tempat yang disediakan. Ketika sampai di masjid, jamaah belum terlalu ramai. Kami dengan leluasa memilih syaf untuk salat. Saya melangkah pelan mengamati mesjid yang ditopang oleh tiang-tiang besar. Di bagian bawah tiang besar itu dikeliling oleh petak dan garis, yang biasa digunakan untuk bersandar kalau capai. Di bagian atas tiang terdapat beton persegi enam berwarna emas untuk menopang kubah di atasnya. Lengkungan kubah -- yang bisa dibuka-tutup secara elektrik-- berwarna kuning hitam itu membentuk lorong panjang di bagian atas masjid.
Ismail Lee memperlihatkan kompetensinya sebagai pengusaha konstruksi yang berpengalaman. Ia menjelaskan secara rinci material, model arsitektur, hingga sistem elektrik. Katanya, bangunan ini dibuat dengan material pilihan berkualitas terbaik di dunia. Ia juga memuji pilihan sistem elektrik asal Jerman yang amat efektif untuk digunakan di masjid ini. Sejak dari sistem penyejuk udara, payung raksasa, hingga kubah yang bisa digeser.
“Dari mana kamu tahu tentang material dan sistem teknologi yang digunakan di masjid ini?” tanya saya lugu.
“Ketika umrah tiga bulan lalu, saya membeli sebuah buku bagus berisi sejarah lengkap Masjid Nabawi. Buku luks yang dihiasi foto-foto itu memang sedikit mahal, tapi saya senang bisa mendapatkannya,” jawab Ismail Lee.
Di waktu luang, saya coba mencari buku yang disebut Ismail Lee, tapi saya gagal menemukannya. Saya melangkah perlahan di permadani tebal yang empuk. Getaran rasa geli menjalari telapak kaki saat bersentuhan dengan bulu-bulu halus permadani yang menutupi lantai masjid.
Saya mengangkat telapak kaki, dan berjingkat layaknya anak kecil yang sedang bermain di halaman. Di tengah masjid, saya berhenti, duduk dan menyilangkan kaki untuk bersila. Dengan punggung tegak saya menarik nafas sedalam dan sepanjang mungkin.
Udara dengan aroma wangi yang lembut menyusup melalui hidung, masuk ke paru-paru, dan menjalar hingga ke urat terjauh di ujung pori-pori. Saya menutup mata, menikmati perasaan damai hingga jauh ke lubuk hati. Tak lama kemudian saya melakukan salat sunat tahyatul masjid.
Masjid Nabawi
Kenikmatan beribadah hanya mungkin dicapai melalui kekhusyukan. Apa sebenarnya makna khusyuk? Para ulama telah menulis pendapat mereka dalam banyak literatur. Tapi saya ingin berbagi penjelasan sederhana berikut ini.
“Khusyuk itu layaknya seorang anak yang sedang mencari orang tuanya di pasar yang ramai. Pasar dengan segala kesibukannya tak akan mampu mengganggu si anak untuk mencari dan menemukan orang tuanya. Si anak akan terus bergerak, berkelit, bahkan berlari agar bisa bertemu orang tuanya di keramaian pasar.”
Demikian penjelasan yang disampaikan Pak Etek, adik bungsu orang tua laki-laki saya. Konon, penjelasan itu berasal dari Buya Hamka, saat beliau mengunjungi ulama-sastrawan itu bersama Kakek. Kakek telah bersahabat dengan Buya Hamka sejak keduanya sama-sama bersekolah di Parabek, Bukittinggi.
Bagi saya, penjelasan sederhana itu amat menarik karena Tuhan dan hamba digambarkan dalam hubungan yang akrab. Saat salat, saya mencoba mengungkapkan seluruh harapan dan keinginan. Ketika berdoa, saya lebih suka berbagi cerita, pikiran, dan kesulitan. Begitu saja, layaknya bercerita pada teman atau saudara.
Dengan cara demikian, ibadah layaknya perjumpaan yang menyenangkan, bukan kewajiban yang membebani. Saya tidak tahu, apakah itu pilihan yang benar atau salah. Apakah Tuhan berkenan atau tidak. Entahlah. Biar sajalah hal itu jadi urusan Tuhan.
Saat sujud pada rakaat terakhir, tiba-tiba saja saya menangis. Air mata membasahi sajadah tebal tempat sujud. Saya tak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Juga tak memahami bagaimana perasaan saya saat itu. Saya bahkan tak mengerti, kenapa saya meneteskan air mata. Saat kepala menyentuh lantai bangunan suci ini untuk sujud, perasaan damai menyusuri seluruh tubuh.
Suatu masa dalam hidup, saya amat menikmati kedamaian yang tenang dalam beribadah. Hampir lima tahun lama saya menikmati hal demikian. Akan tetapi, kesibukan kerja dan kelalain menyapu semuanya. Usaha untuk kembali meraihnya ternyata tidaklah mudah.
Berbagai cara saya lakukan, dan banyak tempat saya datangi. Semuanya berakhir dengan kehampaan. Maka alangkah menyenangkan bisa kembali melayang dalam kedamaian yang khidmat di masjid utama ini. Bisa jadi, itulah yang membuat saya menangis.
***
Selesai salat Asar berjamaah, kami bergerak ke arah depan menuju Raudhah. Raudhah berarti taman. Tempat itu terletak di sebelah mihrab, di bagian depan masjid. Raudhah adalah ruang istimewa di masjid yang juga istimewa. Kata Nabi, “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga. Dan mimbarku di atas kolam” (Shahih Bukhari: 1196). Dengan keutamaan itu, umat Islam percaya bahwa setiap doa di Raudhah akan dikabulkan.
Saya bersama Ismail Lee dan Ahmed kini berada dalam antrian panjang jamaah menuju Raudhah. Berjalan beringsut di antara desakan jamaah berbagai negara. Hampir satu jam berdempetan antri, baru kami menyadari bahwa antrian itu bukan untuk masuk ke Raudhah, tapi hanya lewat di sampingnya. Ternyata, untuk bisa masuk ke Raudhah kita harus mengambil syaf di bagian depan. Padahal kami sudah hampir satu jam lamanya antre.
Dengan wajah sendu, saya hanya menyaksikan jamaah lain yang khusyuk beribadah di Raudhah, beberapa langkah dari tempat saya berdiri. Akhirnya kami keluar ke arah makam Nabi Muhammad. Saya singgah sejenak di depan makam Kekasih Allah itu untuk mengucapkan doa dan shalawat.
Sampai di luar masjid, barulah saya menyadari bahwa hanya saya sendiri yang memakai kaos oblong. Kaos oblong lengan pendek yang biasa saya pakai untuk jalan pagi. Dibeli di sebuah minimarket seharga sebungkus rokok, 4000 KW. Pakaian tidur sehari-hari, yang tak bakal saya kenakan untuk bertemu mahasiswa, apalagi sesama dosen. Saya meraba kaos tipis yang membungkus tubuh. Tapi rabaan itu terasa bagai cakaran panas yang perih.
“Wahai manusia dungu yang lalai,” bisik saya pada diri sendiri. “Berbulan-bulan kau menyiapkan diri, mengumpulkan uang dan mengurus persyaratan. Terbang ribuan kilometer jauhnya menuju Tanah Suci. Begitu sampai di rumah suci utama ini malah kau tidak menyiapkan diri dengan pakaian yang pantas untuk menghadap Sang Pencipta! Alangkah sempurnanya kedunguanmu, duhai insan yang malang!”
Sampai di hotel, saya katakan pada Ahmed bahwa saya mau keluar untuk membeli pakaian serta alas tidur untuk bermalam di Mina. “Ke supermarket saja. Lebih lengkap dan harganya pasti,” usul Ahmed.
Mengikuti saran Ahmed, saya menuju supermarket yang terletak di depan jajaran toko di jalan menuju masjid. Di supermarket, banyak orang Indonesia yang menjadi karyawan. Kita dengan mudah bisa bertanya di mana letak barang, mode, maupun kualitasnya. Akhirnya saya membeli beberapa helai baju dan celana untuk digunakan selama beribadah. Ketika ke masjid saat Magrib, saya merasa lebih nyaman. Ada perasaan bahagia, akhirnya saya benar-benar menyiapkan diri, berpakaian yang pantas untuk beribadah di rumah Allah.
***
Menjelang berangkat haji, saya membeli sepasang sandal plastik yang lembut merek Crocs. Bahannya lembut dan ringan, meski harganya agak mahal dibandingkan jenis dan merek lain. Saya membelinya saat singgah di Lotte Mall di Seoul Station, yang saat itu memberikan potongan harga lumayan banyak.
Saat salat Isya pada hari pertama, saya pakai sandal itu untuk berangkat ke masjid. Ketika menaruh sandal mahal itu di tempat sandal, entah kenapa dalam hati saya ada perasaan khawatir; ‘bagaimana kalau sandal bagus itu hilang diambil orang?’
Perasaan khawatir itu masih menghantui saya hingga saat salat. Selesai salat, dan akan mengambil kembali sandal itu, ternyata bukan sandalnya saja yang hilang. Bahkan rak tempat sandal itu pun sudah tak ada. Dengan rasa penasaran saya coba mencari-cari ke sekitar ruang masjid. Juga bertanya pada petugas kebersihan ke mana tempat sandal itu dipindahkan. Setelah berkeliling sekitar dua puluh menit, sandal kebanggaan itu gagal ditemukan.
“Ah, kayak salat di masjid kampung saja,” ujar saya dengan kesal.
Masa kanak-kanak di kampung, kami selalu diingatkan untuk membawa sandal yang paling jelek setiap kali berangkat ke masjid. “Nanti diambil orang kalau bawa sandal bagus,” ujar kakak sepupu saya. Kebiasaan masa kecil itu terus terbawa hingga remaja, bahkan dewasa.
Maka di tempat sandal di masjid kampung kami hanya ada sandal jelek. Sandal jepit yang bolong bagian tengahnya karena terlalu lama dipakai. Sandal plastik model bertutup di bagian atas, dengan robekan di bagian sampingnya karena memang telah butut. Atau sandal dengan warna serta ukuran yang berbeda antara sebelah kiri dengan yang kanan.
Kalau pun ada sandal yang bagus, tentulah itu sandal milik perantau yang baru pulang. Bisa jadi mereka sudah lupa pada ‘aturan’ ta tertulis di masjid kampung kami. Tapi mungkin saja mereka sengaja membawa sandal bagus untuk melagak kami orang kampung bahwa mereka telah berhasil di rantau. Yang jelas, biasanya sandal bagus perantau itu segera saja jadi incaran untuk ditukar dengan sandal bulukan milik kami.
Tapi kini saya kehilangan sandal bukan di masjid kampung. Bagaimana mungkin ada pencuri sandal yang berani beroperasi di masjid nabi ini? Bukankah orang ke sini untuk beribadah? Lagi pula, jamaah di masjid ini adalah orang yang punya uang, karena tak mungkin rasanya orang melarat bisa pergi haji. Kalau dikira ini karma, seingat saya, saya tak pernah mencuri sandal di masjid atau di mana pun. Yang pernah beberapa kali saya hanyalah mengambil begitu saja sandal yang ada, sebagai tukaran dari sandal milik saya diambil orang. Rasanya malu juga pulang berkaki ayam dari masjid bukan? Apa salahnya saya ambil saja sandal yang ada karena sandal saya toh sudah lebih dulu diambil orang? Begitulah pikiran saya saat itu.
Malam itu saya berkaki ayam ke hotel. Di jalan, saya mereka-reka peristiwa yang baru saya alami. Jangan-jangan kehilangan ini adalah hukuman atas tindakan saya mengambil sandal orang di masjid lain. Atau mungkin juga karena sejak awal saya telah berprasangka dan merasa khawatir sandal itu akan hilang.
Entahlah. Tapi saya lebih suka dengan kemungkinan yang lain; Tuhan lebih suka menerima saya dalam kondisi apa adanya; saat saya dalam kemiskinan, penuh kelalaian, dan berpakaian sederhana. Ah, betapa rahmannya Engkau ya Allah…(Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)