Bersatulah Para Janda: Catatan untuk Hari Janda Internasional

23 JUNI

Jum'at, 23/06/2023 16:02 WIB
kabati

kabati

OLEH Ka’bati

 

SETELAH kemarau yang cukup panjang, akhirnya hujan deras turun membasahi Kota Padang, Jumat (23/6/2023).  Di emperan pertokoan Pasar Belimbing, seorang perempuan berusia sekitar 35 tahun duduk termenung  menatap aliran air yang seolah berkejaran bersama sampah-sampah menuju selokan. Dipangkuannya, bocah berusia sekitar 4 tahun nampak tertidur. Lelah, selepas bermain hujan. Dan disampingnya ada beberapa ikat sayuran yang belum laku terjual.

Yen, nama perempuan itu. Tiga tahun lalu, suaminya meninggal karena kecelakaan kerja di tambang tanah liat (clay), tak ada warisan apapun yang tertinggal untuknya selain 3 orang anak yang masih kecil. Rumah pun masing menumpang di kontrakan.

Kehilangan pasangan hidup adalah masalah berat bagi siapapun, terutama bagi perempuan. Apa lagi kehilangan yang tidak diinginkan. Yen hanya lah satu dari jutaan perempuan janda di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Terpaksa bertahan karena takdir yang tidak dia inginkan. The Loomba Foundation, sebuah lembaga yang peduli dengan nasip perempuan janda melansir  saat ini jumlah perempuan yang berstatus janda di dunia lebih dari 258 juta orang. Dari angka tersebut, Indonesia termasuk satu dari enam negara dengan jumlah janda terbesar. Dan Sumatera Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat perceraian yang tinggi.

Bayangkan, data dari pengedilan tinggi agama menyebutkan bahwa dari 45 ribu perkawinan 20 persennya berakhir dengan perceraian. BPS mencatat, pada tahun 2021 telah terjadi 9.371 kasus perceraian di Sumbar. Ini baru kasus cerai ‘hidup’,  belum termasuk jumlah mereka yang bercerai karena ditinggal mati. Janda menjadi sebuah fenomena sosial. Terlihat biasa, namun menyimpan banyak derita, psikologis maupun materialis, fisik maupun mental. Masalah-masalah ini menjadi akar munculnya masalah-masalah sosial lain seperti kekerasan terhadap anak, gizi buruk, keterbelakangan mental, gangguan kejiwaan, kemiskinan, pencurian, narkoba dan penyakit sosial lainnya.

Status janda bagi kebanyakan perempuan adalah status yang menakutkan. Tidak saja karena dia kehilangan pasangan hidup tetapi juga karena stigma masyarakat yang buruk terhadap perempuan janda. Dari dulu sampai hari ini stigma-stigma seperti itu masih terus dilekatkan terhadap perempuan, terutama yang ditinggal mati suami atau ditinggal pergi. Perempuan Janda sering dianggap sebagai pembawa musibah, memiliki ‘sisiak buruak’ atau perangai yang tak elok atau bahkan mengalami diskriminasi yang parah berkenaan dengan hak-hak hidupnya. Akses mereka untuk mendapatkan pensiunan hari tua, terutama bagi yang tidak punya pekerjaan tetap, juga sangat sulit di dapat. Ibu tunggul seringkali rentan terhadap bahaya kemiskinan, pelecehan dan kesehatan mental.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semenjak tahun 2011 sudah mengeluarkan resolusi untuk menangani persoalan Janda di seluruh dunia. Ini bentuk keberpihakan terhadap hak-hak, harga diri dan keadilan untuk kaum perempuan. Untuk itu, PBB menetapkan tanggal 23 Juni sebagai Hari Janda Internasional (International Widows Day.

Dengan adanya peringatan Hari Janda Internasional ini, dunia diingatkan bahwa perempuan janda adalah makhluk setara yang juga punya harga diri, hak-hak terhadap perlindungan hukum, status sosial yang adil, tanpa diskriminasi dan stigmatisasi. Para janda juga berhak memiliki akses yang sama terhadap kepemilikan properti, tanah, warisan dan jaminan kesehatan serta jaminan hidup yang layak. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memiskinkan perempuan janda karena status perkawinannya.

Tingginya angka statistik janda di dunia sesungguhnya bukan angka diam, ada sejumlah masalah sosial yang bisa digali dan harus dipecahkan dibalik angka-angka tersebut. Ini pekerjaan bersama bukan sesuatu yang hanya diperbincangkan atau kemudian menjadi olok-olok yang semakin menyudutkan perempuan.  Pemerintah harus menjalankan perannya, mengayomi seluruh masyarakat yang termasuk didalamnya kekhususan bagi para janda perempuan. Data-data statistik di atas perlu menjadi acuan dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan baik di level dunia maupun tingkat lokal.

Memperingati Hari Janda tahun ini, mari kembali kita ingatkan pemerintah terus menjaga komitmennya, melindungi hak-hak janda termasuk di dalamnya konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan konvensi terhadap hak anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia semenjak 33 tahun lalu (Kepres No 36 tahun 1990). Pemerintah tidak hanya harus bersikap adil dan konsisten terhadap pelayanan hukum yang berkeadilan terhadap perempuan tetapi juga harus menciptakan budaya ramah janda. Perlindungan dan sistem hukum yang dijalankan dengan budaya kekerasan atau (masih) diwarnai oleh stigma-stigma negatif terhadap janda hanya akan membuat perempuan janda menjauh dari perlindungan pemerintah. Kondisi ini akan menambah buruk tingkat kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia.

Program dan kebijakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap janda dan anak-anaknya, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan dukungan lainnya kepada janda dari segala usia juga perlu dilakukan, termasuk dalam rangka rencana aksi percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Tidak hanya pemerintah, masyarakat sivil pun harus bergerak membantu terwujudnya cita-cita keadilan, kesetaraan dan perlindungan buat para sahabat  janda di mana saja berada. Perlu ruang-ruang bercerita, membagi keluh kesah, saling menguatkan dan memberi dorongan serta membukakan jalan bagi kawan-kawan perempuan yang sedang mengalami rentetan masalah karena status mereka sebagai janda tersebut. Ini bagian dari gerakan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.

Sampai sore, hujan masih deras. Yen bercerita, mengenang perjalanan hidupnya bersama mendiang suaminya yang bekerja keras sepanjang waktu di tanah tambang, namun meninggal tanpa pensiun, tanpa warisan. Airmatanya luruh bersama hujan. Tidak hanya derita batin yang dia tanggung, tetapi juga derita kemiskinan yang parah dan  tanggungjawab untuk terus merawat dan membesarkan anak-anaknya.

“Baa lain ni….” ujarnya sambil tersenyum pahit. ***

 

Penulis merupakan Politisi Perempuan Partai Nasdem Sekretaris DPW GARDA PEREMPUAN Malahayati, dan Pejuang Hak-hak Perempuan 



BACA JUGA