Pantun Minang: 'Biografi Heroik' Lelaki Minangkabau

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

Sabtu, 26/12/2020 17:49 WIB

OLEH Suryadi (Dosen Universitas Leiden)

Dalam penggalan pertama tulisan ini, yang dimuat di laman Facebook dan kemudian diterbitkan pula https://sumbarsatu.com, telah digambarkan bagaimana bait-bait pantun Minang merepresentasikan keberangkatan calon perantau dari Ranah Bundo-nya dan suka-duka yang mereka alami dalam perjalanan menuju rantau. Redaksi

Tautannya di sini

Pada bagian kedua ini, masih dalam rangka merayakan pengiktirafan PANTUN sebagai warisan dunia takbenda oleh UNESCO, akan dibicarakan pantun-pantun Minangkabau yang merefleksikan keadaan perantau Minang di perantauan dan panggilan untuk menjenguk kampung halaman.

*** 

Urang Padang mandi ka pulau,
Putuih sianik paulehkan,
Anak dagang sakik di rantau,
Hujan di langik mamandikan.

Banyak bait pantun Minangkabau merekam perasaan si perantau di rantau. Bait di atas mengilatkan keluh kesah perantau Minang di rantau, jauh dari ibu-bapa dan keluarga matrilineal mereka. Suka-duka hidup di rantau, yang tidak selalu berhasil menghatarkan mimpi-mimpi di perantau, bercampur baur dengan kenangan kepada kampung halaman.

Riak Kehidupan Perantauan

Rantau digambarkan sebagai tempat yang sulit yang penuh tantangan dan oleh karena itu perlu perjuangan dan keuletan untuk menaklukkannya. Kesuksesan hanya dapat diraih jika petuah ibu (mandeh) didengarkan, dan jika selama berada di rantau sifat rendah hati dan kerja keras dipakaikan. Namun, seiring dengan itu, suara-suara kerinduan kepada kampung halaman tempat ibu dan kekasih/ istri/tunangan ditinggalkan muncul dominan pantun-pantun klasik Minangkabau. Banyak bait menggambarkan perasaan nelangsa hati si perantau dan sepinya hidup mereka karena ketiadaan famili di rantau orang. Sakit-senang dirasakan sendiri, tak ada orang yang membantu. Dalam keadaan seperti itu, suara rindu kepada ibu kerap muncul. Simaklah umpamanya bait-bait berikut ini:

Tabang anggang di tapi danau,
Inggok di rantiang dulang-dulang,
Anak dagang sakik di rantau,
Baritonyo sajo sampai pulang.

Pincalang karam tantang pulau,
Udang tajamua ateh batu,
Anak dagang sakik di rantau,
Urang manjanguak hinggo pintu.

Bait-bait di atas juga merefleksikan jarak antara kampung dan rantar yang jauh di masa lampau, ketika sarana transportasi belum secanggih sekarang. Namun, sekarang pun kampung terasa masih jauh bagi para perantau Minang yang 'terkubur' di rantau akibat kurang suksesnya meraih kehidupan yang lebih baik di rantau orang. Dalam bai-bait lain dikatakan:

Hujanlah hari di Sipinang,
Tampieh di Kampung Tabu,
Manangih di rantau urang,
Takana ranah kampuang ibu.

Puyuah disangko unggeh pikau,
Baranang-ranang di tapian,
Mangaluah dagang di rantau,
Takana padang pamainan.

Barambuih angin di Kurinci,
Asam pauh dari subarang,
Awan bararak ditangisi,
Badan jauah di rantau urang.

Usah dirantak bungo tanjuang,
Jatuah badarai bungo lado,
Usah dikana mandeh kanduang,
Jatuah badarai aia mato.

Bait-bait di atas merefleksikan hubungan emosional perantau Minang dengan ranah bundo-nya (kampung halamannya). Figur 'ibu' (wanita) sering mendominasi, mungkin ini terkait dengan hubungan kekerabatan etnis Minangkabau yang bernasab ibu (Matrilineal).

Peluang untuk sukses dan gagal di rantau sama besarnya. Bagi yang kurang sukses, makin jauh rasanya kampung, seperti terefleksi dalam bait-bait berikut ini.

Kambang bapucuak pudiang geni,
Kambang di puncak Gunung Ledang,
Jangan diarok badan kami,
Kami jauah di rantau urang.

Kok didulang pandan bak kini,
Kalikih babuah tido,
Kok pulang badan bak kini,
Bapitih sarimih tido.

Urang manumbuak jolong gadang,
Ayam nan makan jolong turun,
Manangih di rantau urang,
Ka pulang baameh balun.

Bait-bait di atas mengilatkan rasa malu perantau Minang untuk pulang kampung melihat keluarga karena mereka belum sukses di rantau. Memang salah satu motif pergi merantau, sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Naim (1979) adalah untuk mengumpulkan kekayaan (motif ekonomi).

Kekhawatiran, kerinduan, dan harapan orang kampung kepada perantau, terutama yang diwakili oleh kaum wanita, juga direfleksikan dalam banyak bait. Demikianlah umpamanya, dalam bait-bait berikut ini dikatakan:

Ngilu gigi mamakan jambu,
Dimakan duku ngilu pulo,
Ingin hati andak batamu,
Musim pabilo ka basuo.

Tuan Katik manjalo udang,
Dimalah biduak di latak'an,
Sakik Ajo di rantau urang,
Siapo manduduak managak'an.

Kampia diganggam Gantosori,
Barisi samuik salimbado,
Kok ampia buliah lakeh dicari,
Iko jauah antah dimano.

Cincin banamo Gantosori,
Sasuai sajo di kalingkiang,
Ilang kamano ka dicari,
Lauiktan sajo bakuliliang.

Balayia kapa Tuan Haji,
Sampan dikayuah nangkodonyo,
Ilang kamano ka dicari,
Indak tadanga baritonyo.

Dalam bait berikut ini, yang sangat hiperbolis, dapat dikesan kesedihan hati yang begitu mendalam dari si dia (kekasih) yang ditinggalkan.

Bungo cimpago satu halai ,
Tumbuah di kubua Tuan Haji,
Aia mato salamo carai,
Kok sumua elok tampaik mandi.

Menjeguk Kampung Halaman

Dari pembacaan saya terhadap ratusan bait pantun yang terdapat dalam naskah-naskah schoolchriften Minangkabau koleksi Perpustakaan Universitas Leiden itu, tidak banyak bait yang menggambarkan kepulangan perantau Minangkabau ke kampung halaman. Seringkali kepulangan itu hanya sesuatu yang dijanjikan (sering dipakai kata ‘kok’, ‘jika’), misalnya dalam bait berikut ini:

Lah masak buah kayu tulang,
Makanan anak barau-barau,
Kok untuang kumbali pulang,
Tidak untuang mati di rantau.

Antusiasme kepulangan si perantau ke kampung halaman sangat ditentukan oleh keberhasilan mereka di rantau. Apabila mereka berhasil, maka dorongan untuk pulang sangat besar karena mereka ingin memperlihatkan keberhasilan itu kepada sanak famili dan orang kampung mereka. Faktor ekonomi inilah yang antara lain mencirikan dua tipe merantau orang Minangkabau: ‘merantau pipit’ dan ‘merantau Cina’.

Namun demikian, dalam beberapa bait terkesan adanya rasa optimis: kampung halaman yang dirindukan akan dijelang; orang-orang tersayang yang ditinggalkan akan dikunjungi, sebagaimana terefleksi dalam bait-bait ini:

Ka dulang padi anyo lai,
Dibao urang Tujuah Koto,
Ka pulang kami anyo lai,
Mananti bulan di muko.

Apo takilek di subarang,
Rajo Amaik bapacu kudo,
Bulan Puaso kami pulang,
Adiak balimau kami tibo.

Sebagaimana telah dibahas dalam banyak publikasi ilmiah (lihat Misalnya, Naim 1979, Kato 1982), sifat penting dari tradisi merantau etnis Minangkabau adalah keterkaitan emosi yang tinggi dengan kampung halaman mereka. Saya melihat hal ini terkait dengan faktor-faktor sosial budaya yang mendorong orang Minang merantau, yang kemudian juga mendorong mereka untuk memperlihatkan hasil perantauan mereka kepada orang kampung. Jika seorang Minang ‘dipaksa’ pergi merantau karena di rumah dianggap belum berguna (secara ekonomi), maka ketika ia berhasil di rantau, ia akan pulang (secara periodik) ke kampungnya untuk memperlihatkan keberhasilannya, guna menunjukkan bahwa kini ia sudah berguna (sudah menghasilkan kapital). Mungkin hal inilah yang menghadirkan unsur ‘heroik’ dalam sifat perantauan orang Minangkabau, sebagaimana direpresentasikan dalam khazanah pantun mereka. Oleh sebab itu, kiranya logis jika mereka yang tidak berhasil di rantau merasa malu untuk pulang ke kampung, karena perantauannya yang gagal itu tidak menimbulkan perubahan pada status dirinya (secara ekonomi).

Kesimpulan

Naratif pantun Minangkabau adalah salah satu dokumen sosial dan sejarah tempat kita dapat ‘membaca’ secara historis dan sosiologis apa arti merantau bagi lelaki Minangkabau dan bagaimana budaya merantau itu mempengaruhi hidup mereka. Pantun-pantun tersebut dapat dianggap sebagai rekaman sahih yang mencatat perasaan kaum lelaki Minangkabau terhadap aktivitas merantau yang mereka lakoni, yang sudah berlangsung sejak zaman lampau yang jauh sampai sekarang. Melalui bait-bait pantun Minang kita dapat ‘membaca’ faktor-faktor yang menonjol yang melatarbelakangi dan mendorong lelaki Minang pergi marantau, yaitu soal ekonomi dan harga diri, dan faktor-faktor yang senantiasa 'mengikat' mereka dengan ranah bundo (kampung halaman) mereka di Sumatra Barat. Walaupun tradisi marantau orang Minangkabau cenderung derubah mengikuti perjalanan zaman, hal-hal yang bersifat emosional kolektif mengenainya mungkin tak banyak berubah.

Di dalam pantun-pantun Minangkabau yang sudah dibahas di atas terekam pula perasaan dikotomis dalam diri perantau: antara dorongan untuk meninggalkan kampung karena faktor ekonomi dan harga diri dengan kerinduan kepada kampung halaman sendiri apabila mereka sudah berada jauh di rantau. Keterkaitan yang kuat antara perantau dengan figur wanita (ibu, kekasih/tunangan/istri) yang ditinggalkan di kampung dalam banyak bait pantun tersebut sepertinya mengilatkan pentingnya peran wanita dalam sistem matrilineal Minangkabau. Sebaliknya, unsur ayah dan mamak terkesan tidak begitu menonjol.

Membaca pantun-pantun Minang klasik adalah 'membaca' perjalanan hidup lelaki Minangkabau yang berada dalam tarik-menarik antara rantau dan kampung, antara ibu dan istri/kekasih/tunangan. Kiranya R.J. Chadwick benar: bahwa bait-bait pantun-pantun Minangkabau adalah 'heroic biography' kaum lelaki Minangkabau.

Leiden, 25 Desember 2020



BACA JUGA