
OLEH Dr. Indra Utama (Putra sulung almarhum Boestanoel Arifin Adam)
PADA tahun 1976, bulan Maret atau April, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang—yang kini dikenal sebagai Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang—kedatangan dua calon mahasiswa dari Malaysia. Mereka adalah pasangan suami istri, Zulkifli Zain dan Normala Omar, yang di negeri asalnya sudah cukup tersohor sebagai artis dan seniman seni pertunjukan.
Kehadiran pasangan ini bukan sekadar untuk menuntut ilmu, melainkan juga bagian dari misi kebudayaan yang diutus langsung oleh Kerajaan Malaysia guna mempererat hubungan serumpun dengan Indonesia. Tidak banyak yang tahu, setelah berakhirnya konfrontasi Indonesia–Malaysia pada 1963–1966, kedua negara berupaya memperbaiki hubungan diplomatik melalui berbagai jalur, termasuk pertukaran budaya, akademik, dan seni.
Sejak awal 1970-an, Malaysia kerap mengirimkan senimannya untuk belajar ke Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Zulkifli Zain, seorang aktor sekaligus penari, yang datang bersama istrinya, Normala Omar. Saya memanggil mereka Bang Zul dan Kak Mala. Saat itu, usia saya baru 16 tahun.
Pada masa tersebut, ASKI Padang Panjang dipimpin oleh ayah saya, Boestanoel Arifin Adam, yang menjabat sebagai direktur. Nama Boestanoel merupakan ejaan lama dari Bustanul. Baik Bang Zul maupun Kak Mala memanggil ayah saya dengan sebutan Pak Bus. Beliaulah yang menyambut kedatangan mereka berdua dan menerima Bang Zul sebagai mahasiswa resmi. Sebenarnya, yang diutus secara formal hanya Zulkifli Zain. Namun, berkat kebijakan direktur ASKI saat itu, Kak Mala juga diperbolehkan ikut belajar.
Padang Panjang adalah kota kecil yang terletak di kaki Gunung Marapi—gunung berapi yang masih aktif—dan Gunung Singgalang yang sudah tidak aktif. Udara kota ini sejuk, tanpa perlu pendingin ruangan. Ditambah dengan ragam kuliner yang khas dan lezat, Padang Panjang memberi kesan tersendiri bagi pendatang.
Sejak lama kota ini dikenal sebagai pusat pendidikan agama, dengan sekolah-sekolah ternama seperti Perguruan Thawalib, Diniyah Putri, Madrasah Irsyadin Naas, dan Muhammadiyah. Dari kota ini pula lahir ulama besar seperti HAMKA.
Bukan hanya itu, Padang Panjang juga melahirkan banyak seniman yang kiprahnya menembus batas negeri. Atas dasar itu pula ASKI Padang Panjang didirikan, yang kemudian berkembang menjadi ISI Padang Panjang.
Dengan suasana religius dan kehidupan masyarakat yang guyub, Bang Zul dan Kak Mala semula sempat ragu apakah bisa bertahan hidup di kota kecil dengan budaya berbeda jauh dari Kuala Lumpur.
Pada awalnya mereka tinggal di Hotel Makmur, penginapan sederhana yang saat itu sudah dianggap terbaik di Padang Panjang. Fasilitasnya terbatas, kamar mandi dipakai bersama, dan harus turun naik tangga untuk mengaksesnya.
Namun, setelah berinteraksi dengan akademisi dan mahasiswa ASKI, mereka mulai merasa nyaman. Saya sendiri menyaksikan bagaimana Bang Zul dan Kak Mala berbaur dalam suasana kekeluargaan, berlatih seni, bercanda, dan bekerja sama dengan mahasiswa lainnya.
Di tengah masa studi mereka, pada Oktober 1976, lahirlah putri sulung mereka, Norzizi Zulkifli, di Rumah Sakit YARSI Padang Panjang. Kelahiran Norzizi menjadi bagian penting dari sejarah keluarga ini sekaligus menegaskan ikatan emosional mereka dengan Padang Panjang.
Bertahun-tahun kemudian, saat saya bertemu lagi dengan Bang Zul dan Kak Mala di Kuala Lumpur sewaktu menempuh studi doktoral di Universiti Malaya, mereka masih sering mengenang masa indah selama tinggal di Padang Panjang.
Selama belajar di ASKI, selain mendalami seni Minangkabau—khususnya silat dan tari—Bang Zul juga memperkenalkan karyanya. Dua repertoar tari ciptaannya, Sekapur Sirih dan Tudung Saji, diajarkan di ASKI dan hingga kini masih dilestarikan di ISI Padang Panjang dengan selalu menyebut nama penciptanya.
Hubungan emosional keluarga ini dengan Padang Panjang tidak pernah putus. Pada Maret 2024, putri mereka, Norzizi, kembali ke Sumatra Barat dalam program Siri Jelajah Nusantara, menampilkan monodrama berjudul Dan di Senja Itu.
Pertunjukan ini didedikasikan untuk ayahnya, Zulkifli Zain, yang wafat pada September 2020. Dalam karya tersebut, Zizi memerankan sosok ayah sekaligus dirinya sendiri. Dari tiga kali pertunjukan—di Ladang Tari Nan Jombang Padang, ISI Padang Panjang, dan Jurusan Sendratasik UNP Padang—pementasan di ISI menjadi yang paling berkesan.
Banyak dosen dan mahasiswa hadir, dan mereka larut dalam emosi ketika cerita menyentuh pengalaman Bang Zul dan Kak Mala semasa belajar di ASKI Padang Panjang. Kontak batin terasa begitu kuat hingga tidak sedikit penonton yang meneteskan air mata.
Dalam sambutan saya saat itu, saya mengingatkan Zizi: meskipun dia orang Malaysia, tetapi dia lahir di Padang Panjang. Maka, bangunlah terus hubungan silaturahmi dengan kota kelahiranmu. Padang Panjang akan selalu membuka hati untuk kehadiranmu.*
Padang Panjang, 17 September 2025