Djohermansyah Djohan: Nepotisme pada Pilpres, Sebab Tak Ada Bapak yang Tidak Menolong Anaknya

Selasa, 02/04/2024 18:19 WIB
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan

Jakarta, sumbarsatu.com– Pakar hukum otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan mengatakan kesediaannya untuk memberikan kesaksian di sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah  Konstitusi (KM) dilandasi semangat berjuang di jalan Allah (Fisabilillah) untuk menyatakan dan menegakan keadilan dan kebenaran.

Maka ketika memberikan keterangan, meski pada awalnya terasa berat, namun ketika telah mengemukannya di depan sidang kini dirinya merasa lega karena terbebas dari beban yang selama menghimpit nuraninya.

‘’Saya lega telah berjuang di depan sidang MK  dalam tujuan menghadapi kezaliman dalam Pilpres 2024. Pemilu kini bukan lagi berlangsung sesuai dengan amanat konsitusi, yakni langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam hal ini adanya kekuasaan dengan segala kekuatannya memainkan manipulasi terkait pemungutan suara,’’ kata Djohermansyah Djohan, Senin, 1 April 2024.

Mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri dan penjabat Gubernur Provinsi Riau mengatakan, sebagai orang yang terlibat mengurus pemerintahan daerah dalam waktu yang panjang dia sedih dengan kenyataan yang terjadi pada saat ini. Hal itu adalah ketika pejabat kepala daerah, aparatur sipil negeri (ASN), hingga kepala derah yang tidak netral dalam pilpres kali ini.

‘’Saya melihat dan merasakan fenomena itu. Padahal pejabat negara, pejabat kepala daerah, dan pejabat kepala desa tidak boleh berpolitik praktis. Pejabat negara misalnya menteri karena dia juga politisi memang masih bisa kampanye, tapi mereka harus cuti.”

“Begitu juga presiden juga bisa melakukan hal yang sama, namun dia harus cuti juga. Ini supaya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara,’’ tegas Djohermanysah yang kini Guru Besar STPDN dan IPDN yang berkarier menjadi ASN selama 48 tahun.

Menyinggung soal nepotisme politik yang dilakukan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024, Djohermanysah mengatakan bila hal itu terlihat secara nyata pada pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres bersama Prabowo Subianto. Dalam hal ini dia pun punya sebuah teori untuk melihat hal itu: ” Tidak ada seorang pun bapak yang tidak akan menolong anaknya kecuali pada hari kiamat.”

Jadi, lanjutnya,  dalam soal ini ada seorang bapak yang tengah menjadi presiden, anaknya maju dalam pilpres. Maka dia pasti sesuai naluri alamiah selaku manusia, dia akan membantu anaknya. Bahkan itu tak cukup dengan itu, tindakan dari sang presiden didukung anggota keluarga lainnya, yakni pamannya, yang jadi Ketua MK.

“Para pihak itu tentu saja mati-matian akan menolongnya dengan berbagai cara meski harus sampai tega melakukan berbagai skandal yang membuat proses pemilu menjadi brutal,’’ ujar Djohermansyah.

Yang paling menyedihkan, Djohermansyah juga melihat bahwa tindakan brutal untuk menolong anaknya tersebut dilakukan secara sistematis jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu. Bahkan terendus semenjak adanya keinginan untuk menambah periode masa kekuasaan presiden, hingga merancang penetrasi kekuasaannya di dalam mengatur pejabat kepada daerah dan ASN. Salah satunya adalah dengan menunjuk pejabat kepala daerah yang ada di 571 wilayah.

 

‘’Sedangkan untuk memengaruhi sikap pejabat kepada daerah dan ASN itu ditunjukan melalui berbagai tindakan verbal maupun non verbal. Secara verbal misalnya dengan menyatakan akan mengevaluasi setiap hari bila ada pejabat kepala daerah yang miring-miring. Bila mereka lakukan tindakan seperti itu maka akan langsung akan ditindak. Ini dinyatakan secara verbal sewaktu melantik para pejabat kepada daerah,’’ kata Djohermansyah.

Bagi para aparatur negara, ungkap Djohermansyah, isyarat agar mematuhi perintah atau keputusan Presiden Jokowi yang memihak dalam pilpres sangat mudah mereka lihat dan pahami. Bahkan bagi seorang aparatur birokrasi itu pasti paham bila pemihakan bisa diindikasikan dari bahasa tubuh yang ditampilkan dari sang presiden.

‘’Jadi sebuah perintah dari atasan bagi ASN itu dimengerti tak harus pakai surat keputusan atau perintah verbal. Melalui senyuman, ekpresi wajah, bahkan picingan mata dari Presiden Jokowi, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Sebab, hukum di birokrasi adalah bawahan harus mentaati sikap dan putusan dari pihak atasanya,’’ kata Djohermansyah kembali.

Ditanya mengenai analisanya mengenai Pemilu 2024, Djohermansyah menyatakan pemilu kali ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia. Tak hanya bila dibandingkan dengan Pemilu 1955, namun juga bila dibandingkan berbagai pemilu di masa reformasi yakni semenjak Pemilu 1999.

‘’Pada pilpres ini,  Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi tidak independen. Bawaslu juga begitu. Semua ini terjadi karena semenjak pemilihan mereka sebagai anggota lembaga tersebut terindikasi mereka adalah orang disekitar presiden (all the president’s men),” tegas Djohermansyah Djohan mengakhiri perbincangan. SSC/KBANews



BACA JUGA