Menggunting rambut, tahallul. di perkemahan Mina. oke
SETELAH wukuf dan bermalam di Muzdalifah, rangkaian ritual haji berikutnya adalah melontar jumrah. Melempar jumrah itu dilakukan selama tiga hari, satu kali setiap hari untuk tiga jumrah. Maka kami akan tinggal selama empat-lima hari di tenda-tenda di Mina. Selain melontar jumrah, tak ada kegiatan penting lain. Saya jadi punya banyak waktu senggang usai melontar.
Pada hari pertama, kami melontar jumrah di pagi hari selesai sarapan. Untuk sampai di tempat melontar, kami harus melewati terowongan selebar dua belas meter dengan tinggi delapan meter. Di dinding terowongan dipasang kipas angin raksasa agar jamaah tidak kekurangan oksigen dalam terowongan panjang yang menembus bukit batu itu. Tersedia juga eskalator horizontal untuk jamaah yang kelelahan berjalan.
Dalam jarak tertentu, polisi berjaga sambil mengingatkan jamaah agar tidak berhenti. Jamaah yang duduk karena letih akan didatangi dan dibantu. Tapi yang sekadar istirahat, apalagi berombongan, akan diminta segera bergerak. Tujuannya untuk menghindari terjadinya penumpukan jamaah.
Ada dua terowongan yang bersambungan menuju jumarat. Antara satu terowongan dengan terowongan berikutnya terdapat ruang terbuka dengan atap yang agak tinggi. Meski atap itu cukup melindungi dari panas, banyak jamaah lebih suka mengembangkan payung untuk melindungi diri. Beberapa jamaah sampai lupa menutup kembali payung ketika memasuki terowongan berikutnya. Sekali lagi, polisi mengingatkan jamaah untuk menutup payung-payung mereka.
Berbeda dari Muzdalifah dan Arafah, di sepanjang terowongan dan jalan menuju jamarat terdapat banyak tempat sampah. Fasilitas itu memudahkan jamaah membuang sampah di tempatnya. Petugas kebersihan juga banyak dan selalu siap memungut sampah yang tercecer, lengkap dengan sapu dan kantong sampah. Jalur sepanjang terowongan selalu bersih, tak terlihat sampah berserakan.
Pagi itu, jamaah di jamarat belum terlalu ramai. Kami berangkat berombongan sambil membawa bendera Korea dan Indonesia. Ketika rombongan kami lewat di depan jamaah Indonesia yang sedang ngobrol, terdengar ada yang bertanya.
“Niki jamaah mana tho? Kok bendera-e ada dua?” tanya seorang bapak agak heran.
“Niki jeneng-e jamaah Korea made in Indonesia, Pak Dhe,” jawab salah seorang anggota rombongan kami.
“Oh, ngono, tho… Anyanga aseo…, nggih.. he he he,” balas sang Bapak lagi mengucapkan salam dalam bahasa Korea. Ah, rupanya sang bapak penggemar berat film Korea juga, pikir saya.
“Anyanga kaseo, Dhe. Assalamu alaikum,” balas kami. Kali ini serempak.
Kami akhirnya sampai di gedung tempat melontar jumrah. Tidak banyak jamaah yang sedang melontar. Saya mulai melontar dengan kerikil kecil ke arah tiang batu. Tujuh kerikil untuk jamarat U’la, atau tempat melempar pertama. Berikutnya tujuh kerikil untuk jamarat Wustha atau tempat melempar bagian tengah. Akhirnya, tujuh kerikil juga untuk jamarat Aqabah atau jamarat ketiga.
Selesai melempar di jamarat, saya berjalan ke luar gedung. Di jalan keluar saya melihat beberapa wanita berkulit hitam menadahkan tangan. Beberapa di antaranya bersama anak yang masih kecil. Saya bersedekah beberapa riyal untuk masing-masingnya.
Tak jauh dari lokasi itu, saya lihat tenda-tenda besar. Kata seorang teman yang sempat berkunjung ke lokasi itu, tenda-tenda dekat jamarat itu dilengkapi pendingin ruangan.
“Itu lokasi untuk jamaah khusus. Khusus yang kaya raya dan tak mau lelah untuk beribadah,” jelasnya.
Selagi berjalan ke luar jamarat, saya lihat helikopter mendarat di helipad yang terdapat di bagian atas gedung jamarat. Turun dari heli, penumpangnya langsung masuk lift dan turun ke lantai tempat melontar. Usai melontar, mereka kembali ke helikopter yang menunggu dan langsung terbang. Ritual ibadah yang simpel sekali.
“Nah, kalau itu pasti tamu VVIP,” jelas teman itu lagi. Ia memang punya banyak sumber informasi tentang kegiatan haji.
“Dari mana mereka naik heli?” tanya saya.
“Ya, dari hotel…”
“Lho, mereka gak tidur di tenda?” tanya yang lain.
“Ya ndak lah. Tenda itu hanya untuk orang biasa. Orang kaya dan penting itu tidurnya di hotel”.
“Wah kurang seru kalau gitu. Tak bisa menikmati dihantam badai dan kesulitan air.”
***
Pertemuan sebelum berangkat ke Mekah.
Malam harinya kami berkenalan dan mengobrol satu sama lain. Selain dengan teman sekamar, banyak di antara kami yang tidak saling kenal. Maklumlah, di Korea kami tinggal berjauhan. Kampung asal juga beragam. Maka kinilah kesempatan untuk kami saling kenal dan bercerita.
Latar belakang dan profesi jamaah kami ternyata cukup beragam. Ada Ustad Faisal, imam masjid Sirahtol Mustaqim di Ansan, yang telah dua tahun bertugas di Korea. Ustad Faisal naik haji bersama isteri beliau, Mbak Erna. Ada juga Heru Sofa, seorang perwira militer asal Madura, yang sedang bertugas sebagai atase pertahanan di KBRI Seoul. Pak Heru naik haji bersama isteri dan ayahnya. Maka ayah Pak Heru menjadi anggota rombongan tertua di jamaah kami.
Anggota jamaah selanjutnya adalah mahasiswa yang sedang melanjutkan studi di universitas di Korea. Misalnya Yudhidya Wicaksana Sambas, dosen ITB yang mengambil program S3 di Seoul National University. Yudhi dan isterinya sama-sama melanjutkan program S3 di Korea. Maka mereka naik haji sama-sama. Ada lagi Zico Alaia, dosen Universitas Indonesia yang mengambil program S3 di Kookmin University. Zico naik haji bersama isteri dan anak lelakinya yang berusia tiga tahun. Anak laki-laki Zico itu menjadi jamaah paling kecil di kelompok kami.
Jamaah terbanyak adalah pekerja yang bekerja di pabrik, perkebunan dan bengkel. Sebagaian besar mereka merupakan jamaah aktif di masjid Indonesia yang tersebar di banyak tempat. Daerah asal mereka terutama Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Dari Sumatra tidak banyak. Hanya beberapa orang saja jamaah asal Lampung, Palembang, dan Sumatra Barat.
Selesai salat Isya dan makan malam, kami ngobrol tentang perjalanan ke Arafah. Berbagi cerita tentang pengalaman spiritual dan doa yang dengan khusyuk dipanjatkan di tempat sakral itu. Selain berdoa untuk orang tua, diberi kesehatan dan rezki, ada doa spesifik di kalangan jamaah muda ini. Misalnya, minta ampun atas banyaknya dosa mata. Kenapa?
“Sulit menghindar dari dosa mata selama di Korea. Apalagi di musim panas. Jadi, hal pertama yang saya lakukan adalah minta ampun atas dosa mata selama ini,” ujar seorang jamaah.
“Emang susah kalau sudah musim panas,” ujar Jamie, pekerja asal Indramayu.” Begitu keluar pabrik, di mana-mana ketemu mbak-mbak cantik berpakaian seksi. Mau dilihat takut dosa. Mau dilewatkan, kok ya takut rugi. Abisnya, memang mulus dan menarik sih,” katanya dengan nada lugu, tanpa rasa bersalah. Kami pun tertawa serempak.
Doa wajib berikutnya adalah agar disegerakan mendapat jodoh. Masalah jodoh rupanya bukan perkara sepele. Doa demikian bisa mengundang sedu-sedan dan deraian air mata juga. Sampai segitunya, pakai menangis segala?
“Jelas, sedih tho, Pak. Segalanya sudah siap. Izin orang tua, sudah. Rumah beserta peralatannya, lengkap. Biaya pesta juga tersedia. Hanya pengantin wanitanya saja yang belum,” papar Dody, jamaah asal Jember, sambil terkekeh. Pengakuan itu tentu saja disambut dengan tawa riuh jamaah lain. Jamaah yang sudah berumur seperti saya hanya senyum-senyum belaka melihat tingkah jamaah muda itu.
Beberapa bulan sepulang haji, doa haji muda itu dikabulkan Tuhan. Kabar pernikahan dan flyer undangan mereka bagikan di grup Facebook. Kami semua mendoakan agar rumah tangga mereka selalu bahagia. Salah seorang jamaah yang mendapat jodoh dan langsung menikah adalah Yogi, jamaah asal Padang. Saat catatan ini ditulis, Yogi membuka usaha di Depok, Jawa Barat, dan hidup bahagia bersama isteri dan seorang anaknya.
Akan halnya jodoh untuk saya, ternyata datangnya lebih lama. Bisa jadi Tuhan lagi menimbang-nimbang apakah akan mengabulkan doa saya atau tidak. Atau Dia begitu berhati-hati memilihkan jodoh bagi duda yang kesepian di tanah rantau seperti saya. Satu tahun sejak pulang dari haji, barulah Tuhan mengabulkan doa saya untuk diberi pendamping hidup. Setelah menjalani rumah tangga beberapa waktu, saya makin yakin bahwa Tuhan tak pernah keliru. Kekasih pilihan Tuhan memang lebih membahagiakan dan menyenangkan. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)