Sampah yang berserakan di Muzdalifah usai mabid dan ditinggal jamaah yang bertolak menuju Mina.
SEMULA, saya tak begitu memperhatikan soal doa-doa yang harus dibacakan saat berhaji. Setiap hari, berkali- kali kita berdoa. Jadi apa sulitnya melakukan hal yang sama ketika di Mekah, Madinah, Arafah, atau di mana saja ya kan?
Setelah menjalankan ibadah haji, barulah saya menyadari bahwa soal berdoa itu ternyata bukan hal sederhana yang remeh temeh belaka. Jauh lebih rumit dari yang pernah saya bayangkan.
Doa haji itu sebegitu banyak dan panjangnya. ‘Sepanjang tali beruk’ kata orang kampung saya. Pohon kelapa di kampung kami tinggi-tinggi, dibutuhkan tali yang panjang untuk mengendalikan beruk yang memanjat dan mengambil buah kelapa. Hampir setiap gerak ada doanya; naik dan turun pesawat, pertama kali melihat Ka’bah, meminum air zamzam, saat melakukan tawaf, sa’i, wukuf, dan seterusnya. Juga ada doa khusus saat mendatangi tempat tertentu, seperti Raudhah, Hijr Ismail, Multazam dan lainnya. Karena baru kali ini naik haji, maka sebagian besar doa itu tentu asing buat saya. Tiba-tiba saja saya menyesal kenapa kurang bersungguh-sungguh saat belajar fikih, bahasa Arab dan tafsir-hadis saat di madrasah. Andai saja saya hafal seluruh doa itu dalam bahasa Arab dan mengerti artinya dengan baik…
Nah, jika saya yang tamat madrasah saja kesulitan menghafal doa-doa itu, betapa lagi orang awam yang tak lancar membaca aksara Arab, bahkan buta huruf. Tapi akal manusia selalu saja bisa menemukan celah buat jalan keluar.
“Allah tidak mempersulit umat-Nya dengan segala macam tetek bengek,” kata seorang pembimbing haji yang dicatat Danarto[1] dalam bukunya yang berkisah tentang naik haji itu. Pembimbing itupun mendeklarasikan doa sapu jagat, Rabbanaa aatinaa fiiddun-yaa hasanah...dan seterusnya.
“Nah, gunakanlah doa ini saja untuk mengganti doa-doa yang bermacam itu. Insya Allah Tuhan berkenan,” kata pembimbing itu lagi.
Hamid Jabbar, sastrawan lainnya, punya jalan keluar unik yang rada ekstrem. Begitulah yang dikisahkan AA Navis[2] dalam bukunya yang berjudul Surat dan Kenangan Haji.
“…Tiba-tiba aku ingat belum berdoa di Multazam. Tapi tidak tahu aku doa apa yang akan aku sampaikan. Sambil mengangkat kedua tangan aku katakan saja: Tuhan, Engkau Maha Tahu. Tentu Engkau pun tahu yang aku butuhkan dalam hidup ini. Berilah itu”.
“Apa yang Bung butuhkan dalam hidup ini?” tanya saya.
“Macam-macam. Tuhan tahu itu. Sudah lama Tuhan tahu apa isi kepalaku,” jawabnya.
Jamaah dari negara Jepang di Muzdalifah
Tentu tak semua orang mau bersikap ekstrim seperti Hamid Jabbar saat berdoa. Lagi pula, yang perlu didoakan itu bukan hanya diri kita sendiri. Tapi juga saudara, keluarga, sahabat, karib kerabat. Bahkan manusia sekota dan senegara, seperti disarankan pejabat daerah saat melepas kepergian jamaah haji. Belum lagi teman-teman yang menitip untuk didoakan. Begitu banyaknya doa titipan itu, sampai-sampai saya harus mencatat nama-nama mereka di sebuah buku kecil agar saya tak lupa.
Menitip doa pada orang yang berhaji sepertinya telah menjadi kebiasaan di masyarakat kita. Banyak orang percaya bahwa doa yang disampaikan jamaah haji di tanah suci lebih mungkin dikabulkan. Begitu antusiasnya orang menitip doa, sebuah yayasan Islam bahkan sampai membuka jasa titip doa. Untunglah jastip doa itu segera ditutup karena mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan[3].
Saya sendiri kadang bertanya-tanya; seberapa besar peluang dikabulkannya doa titipan seperti itu? Apakah Tuhan mengabulkan doa berdasarkan orang yang meminta, atau orang yang menyampaikan doa? Bayangkan saja, lebih dua juta umat manusia berdoa serentak di Arafah. Semuanya berdoa untuk diri, keluarga, saudara, teman dan pimpinan kampung, pejabat daerah, pejabat negara serta keluarga mereka juga. Semua doa disampaikan secara langsung. Entah berapa banyaknya macam permintaan umat manusia sebanyak itu. Nah, di antara dua juta mulut yang berdoa itu, di mana posisi doa yang dititipkan teman, tetangga, atau saudara itu?
Sampah-sampah yang ditinggalkan jamaah berserakan di Muzdalifah setelah mabid dan ditinggal jamaah yang bertolak menuju Mina.
Sejatinya, kita tak perlu khawatir untuk meminta apa saja pada Dia. “Tuhan tidak akan jadi miskin dan kekurangan karena mengabulkan permintaan kita,” kata khatib saat kutbah Arafah. Tapi bagaimana halnya dengan doa yang tak masuk akal, sehingga orang yang dititipi jadi sangsi menyampaikannya? Misalnya, seorang teman yang minta didoakan agar dia dibutakan Tuhan selamanya. Lho, bukankah itu bencana, bagaimana harus mendoakannya?
“Kata orang bencana. Buat aku justru berkah,” ujar teman itu. Teman saya itu adalah penjudi kelas wahid. Sepanjang hari hidupnya di meja judi dengan bermain kartu koa atau kartu kuning, sebutan orang di kampung kami untuk kartu ceki.
Setelah hampir tiga puluh tahun tak jumpa, seorang teman lain menemukannya dalam keadaan hampir buta. Penyakit itulah yang memaksanya berhenti menatap kartu ceki. Ketika kami menganjurkan dan mengajak dia untuk berobat, dia menolak.
“Aku khawatir, kalau aku sehat dan bisa melihat, malah aku akan berjudi terus. Jadi, tolong doakan agar aku dibutakan saja oleh Tuhan.” Nah, bagaimana mungkin saya tega menyampaikan permintaan itu pada Tuhan di Tanah Suci?
Masih seputar berdoa, ada lagi yang mencengangkan. Ternyata untuk berdoa di tempat tertentu ada kuota waktunya. Misalnya, di Raudhah di Masjid Nabawi, Multazam, juga di Hijr Ismail dan Maqam Ibrahim di samping Ka’bah. Semua itu adalah tempat yang makbul untuk berdoa. Jadi banyak orang berebut dan antre untuk berdoa. Agar semua semua peminat mendapat kesempatan, maka waktu berdoa harus dibatasi.
Sebenarnya saya ingin protes soal kuota waktu untuk berdoa itu. Tapi mau protes pada siapa? Kalau ditimbang-timbang dengan banyaknya doa untuk diri sendiri dan titipan dari orang lain, waktu yang tersedia terasa begitu singkat. Tapi bukan hanya saya atau teman saja yang butuh diampuni dosa dan masuk surga. Orang lain juga punya keinginan yang sama. Apa boleh buat, saya harus memilih doa prioritas saja untuk disampaikan.
Maka ketika berdoa di Multazam, karena tak sempat mengucapkan seluruh titipan doa yang banyak itu, sayapun meniru cara yang dilakukan Hamid Jabbar. Saya buka catatan, dan saya katakan pada Tuhan. “Tuhan, ini semua adalah orang-orang yang menitip doa kepada saya. Engkau lebih tahu keinginan setiap hamba-Mu. Termasuk doa yang ingin mereka sampaikan. Maka perkenankanlah doa semua sahabat saya ini, ya Allah”. Dengan demikian tugas saya untuk menyampaikan doa tertunaikan.
Nah, sekarang soal keragaman cara berdoa. Apakah cara berdoa itu mempengaruhi terkabulnya doa juga? Layaknya cara penyajian makanan yang mempengaruhi selera pelanggan? Kenyatannya, beraneka ragam cara orang berdoa. Ada yang berdoa dengan merapatkan tangan ke wajah dan menundukkan badan. Ada lagi yang duduk bersila, diam seperti pertapa. Yang lainnya berdoa sambil berdiri dan menadahkan tangan. Beberapa jamaah berdoa dengan suara bergetar, begitu terharunya.
Jamaah di Muzdalifah
Di Arafah, seorang Mesir di sebelah tenda kami berdoa layaknya bermain drama; ia berdoa sambil menunjuk-nunjuk dan menggerakkan tangan. Seakan-akan sedang berdialog dengan Tuhan yang ada di depannya. Jamaah di seberang jalan tenda kami lebih agresif lagi; dia berdoa sambil menggerak-gerakkan tangan ke langit. Apakah acungan tangan itu untuk meminta, atau berusaha meraih Tuhan dan malaikat di langit? Entahlah.
Saya sendiri memilih cara berdoa yang ringkas; duduk dengan mengangkat dan membentangkan tangan. Dengan suara pelan dan lirih, saya berdoa seakan berbisik. Saya percaya suara hati lebih jernih dan jelas daripada suara mulut. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
[1] Danarto, (2016:18-19).
[2] Navis, (1996:71).
[3] Ohorela, (2014).1