Jum'at, 08/03/2024 14:42 WIB

Terpana di Depan Ka’bah

65. suasana di Mina

65. suasana di Mina

MENJELANG subuh, kami sampai di penginapan. Sebuah bangunan berwarna putih yang kurang terurus dan terletak di atas bukit karang. Cat dindingnya kusam, kamar berdebu, air kamar mandi sering macet, dan alas kursinya bolong-bolong. Agaknya, penginapan ini hanya digunakan hanya setahun sekali, saat musim haji saja.    

Ada dua lift di penginapan bukit karang itu. Dua-duanya berupa lift barang. Apa boleh buat, memang hanya itu yang tersedia. Terpaksalah kami para jamaah menggunakannya juga. Tapi saya lebih suka naik tangga menuju ruang tidur di  lantai tiga. Meski tangganya agak sempit, tapi bebas kapan saja menggunakannya. Kondisi penginapan yang serampangan ini segera saja membuat jamaah ribut. Bakat mengomel para jamaah mulai tersalurkan.

Pagi ini kami akan melaksanakan ibadah umrah. Ritual umrah tidak banyak dan bisa diselesaikan dalam waktu beberapa jam saja. Setelah memakai pakaian ihram di miqat, kita bisa menyelesaikan ibadah umrah di sekitar Masjidil Haram. Sejak dari melaksanakan tawaf, sa’i, dan diakhiri dengan tahallul atau memotong sebagian rambut. Karena beberapa ritual itu mirip dengan ibadah haji, maka umrah disebut juga haji kecil.

Kemarin malam kami telah singgah di miqat dan memakai ihram. Pagi ini akan dilanjutkan dengan melaksanakan tawaf. Setelah salat subuh kami sudah bersiap. Persiapan umrah dibimbing oleh Ustad Syaukani, pembimbing kelompok yang telah lama menetap di Mekah. Beliau  mengingatkan do’a beserta beberapa bacaan penting.  Juga hal-hal yang harus dihindari.

Ustad Syaukani berasal dari Mandailing dan baru saja menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Umm al-Qura, sebuah universitas terbaik dalam studi Islam. Begitu menyelesaikan studinya, Ustad Syaukani diminta oleh otoritas setempat untuk menjadi penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan Melayu. Tugas utamanya adalah menerjemahkan secara langsung khutbah dan pengumuman yang disampaikan dalam Bahasa Arab. Karena tugas baru itu, Ustad Syaukani tidak bisa menemani kami sepanjang waktu. Kami lebih sering mendengar suara Ustad Syaukani lewat radio dan pengeras suara, menyampaikan terjemahan khutbah dan pengumuman.

Setelah pertemuan singkat, rombongan kami berjalan menuju terminal sambil mengumandangkan takbir. Dari terminal, kami naik bus yang disediakan gratis untuk jamaah. Bus berhenti dekat pintu King Abdul Azis. Saya berjalan melewati jalan kecil di antara bangunan hotel, dan sampai di pelataran luar Masjidil Haram. Pelataran luas dengan lantai keramik itu terletak persis di kaki menara tinggi menjulang dengan jam raksasa di puncaknya.

Setelah berwudu, saya  meneruskan langkah menuruni anak tangga menuju halaman dalam masjid. Tidak begitu ramai pagi hari itu. Dengan leluasa saya sampai di gerbang masjid, membuka sandal dan masuk di masjid terbesar di dunia itu. Saya menjejak lantai keramik yang baru saja dibersihkan petugas masjid. Perlahan saya berjalan menunduk dan berhenti di bagian yang terlindung atap. Di sini saya mengangkat wajah dan menyaksikan sebuah bangunan berbentuk kubus yang diselimuti kain hitam dengan ornament tulisan berwarna emas.

‘Ooo, jadi inilah kotak persegi yang menjadi kiblat ketika salat?’ kata saya dalam hati. 

Saya tertegun memandangi bangunan suci itu. Menatap Ka’bah dengan perasaan datar, tanpa ekspresi. Tanpa rasa kagum, riang, apalagi cemas. Semata hanya bengong. Saya tak mengerti kenapa demikian. Mungkinkah ada yang salah dalam diri saya, sehingga hanya bengong saat menatap Ka’bah?

Tak lama kemudian saya pun mengucapkan doa pertama kali melihat Ka’bah secara langsung. "Apa yang tersimpan di balik bangunan kuno yang berwibawa ini?" tanya saya dalam hati. Saya masih berdiri terpana di bagian tengah masjid. "Alangkah ramainya orang beribadah." kata saya dalam hati.

Ka’bah merupakan titik penting yang memiliki sejarah panjang. Tempat itu, menurut beberapa ulama, telah disiapkan Allah sebagai tempat ibadah pertama jauh sebelum manusia pertama, Adam, diturunkan ke bumi. Nabi Adam kemudian diperintahkan membangunnya, akan tetapi pada masa banjir Nabi Nuh, Ka’bah ikut hancur. Nabi Ibrahim dan Ismail kemudian diperintahkan untuk meninggikan fondasi bangunannya.

Kaum Quraisy melanjutkan pembangunan fondasi yang sudah ada, dan menjadikan Ka’bah sebagai tempat ziarah penting di Tanah Arab. Popularitas Ka’bah menimbulkan iri hati dalam diri raja Abrahah, asal Yaman, sehingga ia memimpin pasukan bergajah menuju Mekah untuk menghancurkan bangunan suci itu. Di perjalanan, pasukan gajah itu diserang burung ababil yang melemparkan batu berapi. Tujuh belas tahun kemudian, Ka’bah rusak disebabkan banjir yang melanda kota Mekah. Bangawan Quraisy mengumpulkan uang untuk membangunnya kembali. Ka’bah telah menjadi tempat suci bangsa Arab.

Lebih seratus patung yang menjadi sembahan berbagai kabilah memenuhi sekitar Ka’bah. Tradisi sastra sastra Arab sedang berada di puncaknya. Beberapa puisi terbaik dipilih dan ditempelkan di dinding Ka’bah.  Ketika Nabi Muhammad berhasil merebut kembali Mekah, dengan cara damai, beliau menurunkan seluruh patung dan mengembalikan Ka’bah sebagai wilayah suci.  

Kini, Ka’bah tak hanya diziarahi orang dari tanah Arab. Di depan saya sekarang ribuan manusia sedang berkeliling melakukan tawaf, mengelilingi ka’bah. Manusia dengan warna kulit, bentuk tubuh, dan wilayah asal yang berbeda-beda. Berjalan berkeliling searah arah bumi mengeliling matahari, sambil melantunkan pujian, doa, zikir kepada Allah sang Pencipta. Ribuan manusia yang berjalan, bersamaan melangkah memuji Tuhan.

 Saya menuruni tangga hingga lantai yang datar, untuk memulai ibadah tawaf. Jamaah mulai ramai dan berdesakan, namun saya justru melihat jalan terbuka. Di tengah putaran pertama, seorang tua mendatangi dan mengajak saya untuk berlari kecil.

Let’s go! Mana semangatmu. Ayo ikuti saya,” kata lelaki asing itu dalam bahasa Inggris sambil mengayunkan tangan dengan bersemangat. Saya pun mengikutinya Pak Tua bertubuh sedang dengan rambut pendek berwarna putih itu.

 Begitu saya memulai putaran kedua, ada lagi seorang tua yang lain yang mendatangi. Lelaki tinggi kurus itu menyetop saya dan dengan cepat ia meraih pakaian ihram yang saya pakai dan memperbaikinya. “Buka bahumu... Buka bahumu,” katanya dalam bahasa Inggris. Rupanya saya terlupa membuka pakaian ihram di bahu sebelah kanan.   

Musim haji adalah puncak kunjungan umat Islam ke Masjidil Haram. Dari seluruh penjuru dunia orang datang untuk melaksanakan ibadah haji. Jamaah dari Kazakhtan dan Turki selalu kompak dan beriringan saat melakukan tawaf. Begitu juga jamaah Bangladesh, dengan janggut lebat berwarna orange. Dipimpin seorang pemandu, mereka mengumandangkan doa sepanjang pelaksanaan tawaf.

Jamaah dari Afrika biasanya melakukan tawaf dalam kelompok kecil berjumlah 3-4 orang. Saudara kita dari Afrika ini sering kali seperti angkutan kota; menerobos dan mendahului jamaah lain, berhenti mendadak hingga melawan arus sesuka hati saja. Tak peduli orang lain terdesak, kena sikut, bahkan terdorong. Celakanya, semua tingkah itu dilakukan sambil merapalkan doa, menyebut nama Tuhan. Mau marah, ada rasa khawatir mengganggu doa yang lagi disampaikan.  Benak mereka, mungkin, hanya dipenuhi pikiran bagaimana caranya agar buru-buru masuk surga.

Jika ada jamaah lain mengingatkan, mereka acuh saja. Namun bila diingatkan dengan tegas dan tampang marah, barulah mereka surut. Dalam suasana semrawut demikian, saya tak pernah melihat orang bertengkar selama berdesakan tawaf. 

“Semua orang datang ke sini untuk beribadah, bukan untuk bertengkar,” ujar pemandu kami asal Pakistan.

***

Selesai tawaf, saya salat sunah di Hijr Ismail. Hijr Ismail adalah salah satu tempat yang makbul untuk berdoa. Saya menarik nafas menyerahkan diri dengan ikhlas dan khusyuk. Ingatan saya dipenuhi kenangan tentang keluarga; kakek-nenek, Ibu, Papa, dan guru-guru saya. 

Episode kehidupan masa lalu melintas perlahan, bagian demi bagian. Tentang masa kecil saat berjualan es dan roti di bulan puasa agar punya uang untuk jajan dan membeli baju lebaran. Tentang saat  menjadi penjaga sekolah, juru ketik, wartawan, penulis, hingga agen kopi bubuk. Semua dijalani untuk bisa sekolah dan sekolah.

Di hadapan saya seakan terhampar monitor yang menyajikan perjalanan dari kampung menuju kota tempat kuliah. Sambil menenteng sebuah tas kresek berisi buku tulis dan sepasang pakaian, saya menumpang angkutan kota mencari rumah untuk menumpang. Kini, puluhan tahun kemudian, saya memberikan kuliah di negeri orang, disediakan tempat tinggal, diberi fasilitas dan diberi kesempatan ke tanah suci. Maka hal pertama yang saya sampaikan di Hijr Ismail adalah pernyataan terima kasih untuk semua rahmat ini. Setelah itu barulah saya berdoa untuk semua orang yang saya cintai dan berjasa itu.

Di tempat ini juga saya mengadukan pada Tuhan tentang persentuhan saya dengan dunia mistik. Termasuk doa dan mantra, ‘pemberian orang’ yang pernah saya terima. Maka saya pun meminta ampun, dan kemudian berdoa. “Tuhan,” ujar saya memulai, “Jika ada di antara doa dan mantra yang selama ini saya miliki tidak berkenan dan tidak Engkau sukai, maka habiskan dan jauhkan ia dari diri dan turunan saya, ya Allah. Tapi seandainya ada di antaranya yang Engkau izinkan, jadikanlah pegangan saya itu menjadi lebih tajam dan kuat. Amin.”

***

 Rangkaian ibadah umrah berikutnya adalah melakukan sa’i, berlari kecil antara Bukit Safa dan Marwa. Mulanya, saya berlari kecil sepanjang lintasan, layaknya Siti Hajar mengejar bayangan oase di tengah gurun. Ternyata saya hanya mampu berlari kecil hingga putaran keempat. Saya kalah telak dari Siti Hajar yang berlari di tengah gurun dalam cuaca panas. Padahal, lintasan sa’i saat ini telah ditutupi atap dan diberi pendingin udara serta kipas angin. Lantainya terbuat dari keramik, bukan lagi pasir berhawa panas. Tak ada lagi terik matahari serta hawa panas gurun.

Setelah menyelesaikan sa’i, saya berjalan ke luar masjid. Banyak tukang rambut yang menyediakan jasa potong rambut untuk jamaah haji. Di sebuah tempat yang agak bersih, saya singgah dan mengantre. Tapi ternyata antrean masih banyak dan perut saya malah terasa lapar. Akhirnya saya menuju ke kedai tempat orang menjual makanan.

Saya membeli sepotong kebab dan segelas jus jeruk. Sambil duduk makan, saya melihat sekeliling tempat itu. Di depan saya menjulang gedung Abraj Al-bair dengan menara setinggi lebih dari enam ratus meter. Sekeliling menara menjulang hotel entah berapa puluh tingkat, layaknya kotak-kotak mainan bersusun meninggi. Lima supermarket dan ratusan toko-toko terhampar di bagian bawah.

Manusia hilir mudik untuk berbelanja dan beribadah. Pelataran Masjidil Haram layaknya pasar raksasa yang dikelilingi pertokoan dan hotel. Selesai sarapan, saya kembali ke penginapan. Di penginapan barulah saya memotong rambut dengan meminjam gunting milik seorang teman. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

 

BACA JUGA