Minggu, 03/03/2024 06:22 WIB

Menuju Mekah

Jemaah merembuk menjelang keberangkatan menggunakan bus

Jemaah merembuk menjelang keberangkatan menggunakan bus

KAMIS pagi, 18 Agustus 2018, kami bersiap menuju Mekah untuk memulai pelaksanaan umrah dan haji. Malam sebelumnya ada pengumuman dari Pemerintah Saudi Arabia bahwa awal bulan Zulhijjah dimundurkan satu hari, karena ada koreksi tentang ketinggian hilal. Koreksi itu mengakibatkan  hari raya Iduladha, yang jatuhnya tanggal 10 Dzulhijah, juga diundur. Hari raya bisa diundur11, tapi jadwal keberangkatan kami tidak berubah.

Kami akan melakukan haji tamathuk; melaksanakan umrah terlebih dahulu, setelah itu baru melakukan haji. Jamaah lain ada yang melaksanakan ibadah haji qiran; melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu, setelah itu baru melaksanakan umrah.

Jamaah di sekitar hotel sibuk memuat barang bawaan ke bagasi bus. Jalan satu arah di depan hotel dipadati kendaraan besar yang akan membawa jamaah menuju Mekah. Sejatinya jalan itu terdiri dari lima jalur. Tapi kini hanya tersisa satu jalur, di bagian tengah, yang bisa dimanfaatkan untuk lalu lalang kendaraan. Tiga jalur di bagian kiri dan satu jalur di bagian kanan, dipakai untuk parkir bus.

Sejak pagi, mesin bus dengan minyak solar itu telah dihidupkan. Suara mesin bergemuruh memenuhi ruang di lingkungan yang dipadati hotel. Untunglah bus-bus baru itu cukup terawat, sehingga tidak ada asap hitam keluar dari knalpotnya. Jumlah bus yang tersedia untuk mengangkut jamaah yang ada rupanya masih kurang. Sementara bus bantuan belum juga sampai karena terjebak macet. Maka kami semua menunggu bus bantuan yang entah kapan datangnya.

Hotel tempat kami menginap dihuni oleh jamaah dari Afrika; Mesir, Sudan, Senegal, Somalia dan Ghana. Hanya rombongan kami yang berasal dari Asia di hotel itu. Barang milik jamaah bertumpuk di lobi, gang, hingga trotoar. Masing-masing ditandai dengan warna dan simbol biro travel yang memberangkatkan mereka.

Menurut rencana semula, rombongan kami akan berangkat selesai salat Jumat. Maka selepas makan siang saya mulai bersiap. Tak lama sehabis makan, dapat kabar bahwa keberangkatan diundur selepas Asar. “Lumayan.., tersedia waktu agak banyak untuk berlatih memakai pakaian ihram”, kata saya dalam hati. Selepas Asar, dapat kabar lagi bahwa berangkatnya sehabis Magrib. Memang demikianlah yang terjadi; setelah menyiapkan diri sejak pagi sekali, kami berangkat menuju Mekah pada jam tujuh malam.   

***

Korea berada di puncak musim panas ketika saya berangkat ke Tanah Suci. Suhu berkisar antara 36’-38’ C. Di beberapa wilayah malah mencapai 40’ C. Konon, itulah suhu terpanas sejak tahun 1903, saat pertama kali suhu tercatat di negara Korea. Setiap hari pemerintah mengingatkan warga melalui pesan singkat di telepon genggam tentang bahaya hawa panas. Korban iklim mulai berjatuhan, terutama di wilayah selatan dan tenggara yang dekat laut dan berhawa kering. Banyak orang berusia lanjut yang meninggal dunia karena dehidrasi dan kepanasan.

Dibanding Korea, suhu di Madinah lebih tinggi, antara 42’- 52’C. Begitu panasnya, keringat yang keluar langsung kering diterpa angin gurun yang panas.

“Baru tiga hari di sini, aku sudah menghabiskan segalon air minum”, ujar Rosyid, jamaah asal Malang. Untuk minum, di masjid tersedia banyak tempat untuk mendapatkan air zamzam. Setiap orang boleh mengambilnya kapan saja sesuka hati. Setiap sore sehabis Asar, saya mengisi botol minum yang saya bawa lebih suka membawa botol sendiri dan mengisinya dengan air zamzam untuk bekal minum di hotel

Kontras dari Korea, di Arab orang menyelimuti tubuh dan kepala untuk bertahan dalam cuaca panas. Para lelaki Arab menutup kepala mereka dengan surban atau kafeyah, kain segi empat yang dilipat menjadi segi tiga dan diletakkan di kepala. Ya, penutup kepala yang biasa dipakai Presiden Khadafi. Baju mereka berupa jubah panjang dengan dua saku besar dan dalam di kiri-kanannya.

Jamaah lelaki dari Asia seperti Turki, Bangladesh dan Pakistan lebih suka memakai baju lengan panjang disertai celana panjang. Jamaah lelaki asal Afrika selalu memakai baju terusan panjang dan celana dengan warna menyolok. Kontras dengan warna kulit mereka yang legam. Tasbih besar dan panjang digantungkan di leher, sedangkan tasbih berukuran lebih kecil menghiasi pergelangan tangan mereka. Tampaknya, tasbih itu merupakan benda berharga yang punya nilai simbolik bagi muslim asal Afrika itu.

Orang-orang Uzbekistan lebih suka mengenakan pakaian yang santai; celana kanvas dengan kaos lengan panjang atau pendek, serta rompi bertuliskan nama negara mereka. Seragam jamaah asal Korea banyak kemiripan dengan yang terakhir ini; celana panjang, kaos dan memakai rompi bertuliskan negara Korea. Jamaah biro perjalanan Air One Travel, dari Hongkong, Korea dan Jepang dibedakan dari warna rompinya.  Meski berangkat dari negara yang berbeda-beda, isinya sebagian besar warga negara Indonesia juga. Penandanya mudah saja, mereka memakai sarung ke mana-mana. Pakaian aneka fungsi ini digunakan untuk menutup celana, badan, hingga kepala.

Pakaian jamaah wanita juga beragam. Jamaah wanita asal Arab, termasuk Mesir dan Irak, lebih suka memakai burdah, jubah panjang dan lebar berwarna hitam polos.  Senada dengan baju, warna kerudung dan cadar juga gelap. Dalam balutan warna kelam, aura kecantikan wanita ArB tetap kuat. Terpancar melalui sinar mata bening- tajam serta hidungnya yang mancung. Jamaah wanita asal Afrika memakai baju panjang berwarna terang; hijau, krem, kuning, hingga merah. Nama biro travel yang memberangkatkan tertulis besar di bagian punggung seragam.

Dalam soal pakaian, jamaah wanita Indonesia terlihat paling modis; mengenakan baju terusan panjang polos dengan hiasan bordir di pinggirnya. Begitu juga jilbab beraneka model dengan riasan manik-manik atau bordiran. Kelihatannya, hanya jamaah dari Asia Tenggara  suka menghias pakaian mereka dengan bordiran.

Begitu kami berangkat menuju Mekah, semua model pakaian lenyap. Digantikan oleh pakaian ihram yang terdiri dari dua lembar tekstil putih. Tekstil putih itulah kini yang membalut kulit tubuh jamaah yang beraneka warna; putih, kuning, coklat hingga hitam kelam. Dalam balutan dua lembar kain putih tanpa jahitan, saya duduk tenang di bus yang akan membawa rombongan kami menuju miqat.

***

Malam sebelum berangkat, terjadi diskusi di kamar kami. Sebagaimana biasa, diskusi bermula dari perbedaan pendapat antara Ahmed dan Jameel. Kali ini menyangkut masalah miqat, yaitu tempat memakai pakaian ihram dan melafalkan niat untuk berhaji.

Menurut Jameel, miqat harus dilakukan di tempat yang persis sesuai aturan. Harus benar-benar di miqat, bukan di “wilayah sekitar atau di dekatnya”. Apalagi di jalan menuju miqat.

“Bus akan berhenti di miqat untuk memberi kesempatan pada kita membaca niat haji”, ujar Ahmed.

“Ya. Tapi bus akan berhenti di sekitar miqat, bukan di tempat persis miqat! Awal haji harus dimulai di titik yang tepat, Brother. Kalau tidak, haji kita tak sah,” ujar Jameel.

“Wah, kalau begitu bagaimana dengan orang yang membaca niat haji dalam pesawat yang sedang melaju kencang?” bantah Ahmed. “Menjelang naik pesawat, jamaah telah memakai ihram. Setelah berada di pesawat, dalam posisi sejajar dengan titik miqat, barulah mereka membaca niat.”

“Tentu saja hal demikian boleh. Beberapa menit menjelang titik miqat, pilot akan memberitahu bahwa kita akan berada di titik miqat. Ketika persis berada pada titik sejajar vertikal dengan titik miqat, kita segera dituntun untuk berniat,” jelas Jameel tentang peristiwa itu.

“Tapi laju pesawat kan kencang sekali. Belum tentu semua jamaah siap saat dikomando untuk berniat. Pasti ada saja jamaah yang membaca niat setelah melewati titik miqat”, ujar Ahmed.

“Itu tak masalah. Situasinya kan darurat. Beda dengan kita yang berada di darat. Bisa berhenti tepat di titik miqat,” kata Jameel lagi.

Ahmed tampaknya bersikap lebih moderat. Sementara Jameel lebih konservatif, tegas, dan hati-hati soal hukum syariat. Ismail Lee memilih jadi pendengar, sedangka saya mendengarkan sambil tiduran.

“Jadi, bagaimana solusi terbaiknya?”, pancing saya setelah beberapa menit terdiam.

“Saya telah menghubungi supir bus bahwa saya akan menunggu dan naik bus dari miqat esok hari,” ujarnya.

“Naik apa dari sini ke miqat?” tanya saya lagi.

“Saya akan naik taksi bersama istri. Kami akan berangkat lebih awal. Lebih baik kami menunggu di sana,” jelas Jameel.

Tampaknya ia tetap teguh dengan pendiriannya soal berniat dan memakai ihram dititik miqat.

“Oh begitu. Tapi apa kamu tahu di mana tempat miqat itu?” tanya saya lagi.

“Ah, gampang. Kita bisa tanya ke supir taksi. Mereka pasti tahu,” ujarnya yakin. 

Menurut informasi yang diperolehnya, hanya butuh waktu dua sampai tiga puluh menit dari hotel menuju miqat

Karena asyik berdiskusi semalaman, pagi harinya kami terlambat bangun. Azan subuh telah dikumandangkan lima belas menit lalu, tapi saya baru saja terbangun. Tak lama kemudian Ahmed juga terbangun. Kami pun salat di kamar. Sementara teman asal Irak, Jameel, masih mendengkur sampai kami berangkat untuk mencari sarapan ke luar hotel.

Semua anggota rombongan akhirnya berangkat dengan bus yang disediakan. Termasuk Jameel dan isterinya. Maka, perdebatan semalam suntuk soal membaca niat di miqat menjadi sia-sia.  Antara pikiran dan tindakan kadang ada jarak yang membuat manusia sulit bersikap konsisten.

Dalam sebuah hadits tentang haji, Nabi Muhammad menyatakan tentang tempat-tempat miqat bagi jamaah yang akan berhaji.

Jemaah merembuk menjelang keberangkatan menggunakan bus

Dijelaskan bahwa jamaah dari arah Madinah, miqatnya adalah di Dzul Hulaifah. Lokasi ini terletak 10 km dari Masjid Nabawi. Di sini terdapat sebuah masjid yang disebut masjid Dzul Hulaifah – sesuai nama daerahnya. Masjid yang sama juga disebut Masjid Miqat, sesuai fungsinya. Nama lain dari masjid ini adalah Masjid Syajarah, karena dulunya di sana terdapat sebatang pohon. Di pohon itulah Nabi selalu berhenti untuk memakai pakaian ihram dan melakukan salat sunat. Namun demikian, nama paling popular untuk tempat miqat ini adalah Bir Ali. Di tempat inilah kami melaksanakan miqat; mengucapkan niat untuk berhaji, mengenakan ihram, dan salat sunat.

Selesai dengan semua keperluan di miqat, rombongan kembali ke bus dan melanjutkan  perjalanan menuju Mekah. Dari Madinah ke Mekah hampir lima ratus kilometer jaraknya. Pada masa lalu, Nabi dan sahabatnya membelah padang pasir luas itu dengan naik unta. Saya tak tahu entah berapa lama waktu yang dibutuhkan melewati gurun luas dengan mengendarai binatang berpunuk itu.  Bagaimana mereka membelah padang pasir luas dalam cuaca panas selama berhari-hari. Apa saja perlengkapan yang mereka siapkan untuk perjalanan ibadah sejauh itu?  Sekeras apa niat dan keyakinan di hati pengikut Muhammad itu? 

Rombongan kami tentu saja lebih beruntung. Kini dua wilayah itu telah dihubungkan oleh jalan aspal lebar. Saya tinggal duduk manis di atas bus yang berpacu di jalan aspal licin.

Jalan licin yang luas itu mulai dibangun pada masa Raja Su’ud. Ketika Rosihan Anwar naik haji pada tahun 1957, ia menyaksikan kesibukan pembangunan kontruksi di Saudi Arabia yang saat itu sedang menikmati berkah dari boom minyak bumi. Yang menarik adalah informasinya tentang kontraktor utama proyek pembangunan itu, seorang kaya yang buta huruf.

“Adapun pemborong atau kontraktor bangunan, memperbaharui dan memperluas Masjidil Haram bernama Maktab Mohammed bin Ladin, asal Hadramaut. Ia seorang yang istimewa. Ia kontraktor yang membikin jalan asphalt antara Mekah dengan Medinah. Ia membuat landasan bagi lapangan-lapangan terbang di Arab Saudi. Ia punya harta kekayaan tidak sedikit. Bila diketahui Ben Ladin orang buta huruf, maka siapa yang tidak akan kagum pada kontraktor ini?”

Mohammed bin Ladin yang disebut Rosihan Anwar itu adalah ayah dari Osama bin Ladin, pimpinan Al Qaedah dan sosok yang paling dicari oleh Pemerintah Amerika Serikat karena dianggap sebagai pimpinan teroris berbahaya.  Lelaki kurus berjambang itu diyakini menjadi dalang peristiwa 9/11/2001 yang menghancurkan Menara World Trade Centre di New York. Sejak peristiwa itu, pemerintah Amerika Serikat memburu tokoh ini. Untuk menyelamatkan diri, Osama hidup berpindah, bersembunyi di berbagai negara. Sepuluh puluh tahun kemudian, Osama ditemukan dan tewas dalam pertempuran di Abbotaabad, Pakistan pada 2 Mei 2011. 

Bus melaju kencang di tengah kesunyian. Suara mesinnya terdengar bagai desiran yang dengan cepat hilang ditelan keluasan padang pasir. Di luar bus hanya gelap. Tak ada apa pun yang bisa dilihat. Saya berusaha untuk tidur, agar lebih segar untuk melakukan kegiatan esok dan hari berikutnya. Tapi mata saya tak mau terpejam. Pikiran saya melayang merenungkan ajaibnya sejarah keluarga bin Ladin; sang ayah diriwayatkan sebagai pimpinan perusahaan konstruksi yang membangun kota suci, sementara anaknya dikenang sebagai pimpinan teroris. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)

BACA JUGA