Jum'at, 02/02/2024 06:05 WIB

Pawai Keberangkatan Haji

Istirahat transit di Bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab

Istirahat transit di Bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab

DI tahun 1970-an, kalau ada warga kampung saya yang naik haji, maka kami bersama keluarga beramai-ramai melepasnya dengan rangkaian acara yang meriah. Beberapa hari sebelumnya  ada acara doa dan tahlilan dengan mengundang kerabat dan tetangga. Persis pada hari keberangkatan, calon haji akan memakai pakaian terbaik dan diarak beramai-ramai dengan pukulan rebana menuju bus yang telah disiapkan.

Selanjutnya, para pengantar mengiringi calon haji itu dengan beberapa buah bus hingga ke asrama haji. Setelah calon haji masuk asrama untuk karantrina, barulah rombongan pengantar kembali ke kampung dengan bus carteran. 

Saya berangkat haji hampir setengah abad kemudian. Bukan dari kampung, tapi dari  rantau metropolitan. Dan tak ada sanak keluarga saya di rantau ini. Maka tak ada tahlilan, doa selamat, apalagi arak-arakan dengan tabuhan rebana.

Usai salat Subuh, saya turun ke lantai dasar apartemen untuk menunggu taksi. Hari ini, 11 Agustus 2018, saya akan memulai perjalanan ke Tanah Para Nabi di benua lain. Saya melangkah pelan menuju lantai dasar. Suara langkah kaki dan koper yang diseret bersipongang di antara deretan tiang beton dan ruang yang lengang. Saya mencoba menoleh ke arah apartemen. Barangkali saja ada yang menyaksikan langkah saya melakukan perjalanan suci dari Rantau Semenanjung ini.

Tapi yang ada hanya kesunyian. Tak ada siapa pun yang berdiri di balik pintu. Tak ada wajah yang melongok di jendela melambaikan tangan dan mengucapkan perpisahan. Apalagi air mata dan tangis keharuan. Yang ada hanya sunyi-sepi yang memagut pagi. Dikepungan kesunyian,  saya mengayunkan langkah menuju lapangan parkir untuk menunggu taksi.

 Tak lama kemudian, taksi langganan jenis sedan itu mengantar saya menuju Itaewon. Sopirnya biasa kami sapa Kim Ajusi, atau Paman Kim. Sehari sebelumnya saya telah mengontak dia agar mengantarkan saya pagi-pagi sekali ke Itaewon.

“Kenapa ke Itaewon?” tanya Kim Ajusi. Memang, biasanya saya selalu minta diantar ke arah Bundang, tempat halte bus bandara. Saya jawab bahwa saya mau ke Mekah.

“Untuk haji?” tanyanya lagi.

Kim Ajusi adalah sopir taksi langganan warga asrama. Selain selalu tepat waktu dan ramah, lelaki berbadan gempal ini juga bisa berbahasa Inggris. Pada tahun delapan puluhan, saat terjadi boom minyak dan pembangunan besar-besaran berlangsung di Saudi Arabia, Kim Ajusi merantau dan bekerja sebagai sopir alat berat di negeri Arab itu. Sedikit banyaknya ia tahu tentang ritual haji dan ibadah umat Islam.

Taksi yang saya tumpangi sampai di Itaewon, lokasi masjid tempat jamaah berkumpul sebelum berangkat. Jalanan dipenuhi manusia yang menjinjing koper dan menyandang ransel. Jalan raya selebar delapan meter terasa sesak oleh banyaknya manusia yang lalu-lalang. Beberapa jamaah dari kota yang jauh diantar oleh teman kerja atau jamaah masjid. Selain calon jamaah dari Golden Bridge, pada saat yang sama juga berangkat jamaah dari Travel One, ‘keluarga’ dari Golden Bridge.

Usai salat Zuhur, ada ceramah tentang ibadah haji. Penceramahnya adalah Ustad Faisal Kunhi, MA, imam Masjid Sirathol Mustaqim, Kota Ansan, yang naik haji bersama kami. Jamaah kemudian dibagi berdasarkan kelompok terbangnya. Ada yang berangkat sore itu juga, tapi ada juga yang berangkat malam, bahkan dini hari.

Calon jamaah haji dengan rompi oranye dan merah, memenuhi halaman masjid. Sekitar jam dua siang, datang rombongan Duta Besar Republik Indonesia di Korea, Dr. Umar Hadi, untuk melepas keberangkatan jamaah haji. Ia berpidato singkat-padat dan berharap jamaah bisa menjalani ibadah dengan baik. Diingatkan juga untuk menjaga nama baik dua negara; negara Indonesia sebagai negara asal, dan negara Korea sebagai negara tempat keberangkatan.

Selesai salat Asar, kami membentuk barisan dan berjalan kaki menuju lokasi parkir limousine-bus yang akan membawa kami menuju bandara. Jarak menuju tempat parkir bus itu sekitar satu setengah kilometer. Kiri-kanan jalan itu dipenuhi oleh pertokoan.

Begitu keluar dari gerbang masjid, pimpinan rombongan memulai bacaan talbiyah dengan pengeras suara, diikuti secara serentak oleh seluruh jamaah dan pengantar. Suara talbiyah menggema memenuhi wilayah Itaewon. Wilayah hiburan malam yang biasanya sibuk dan riuh, sore itu terasa hening. Tak ada suara musik dari diskotik. Begitupun canda tawa dari tempat hiburan maupun restoran. Yang terdengar hanyalah kumandang talbiyah yang dibaca jamaah calon haji dan pengantarnya sepanjang jalan. Kendaraan dan pejalan kaki sengaja berhenti untuk memberi jalan pada rombongan kami. Labbaika allahumma labbaika…

Pegawai restoran dan makanan halal asal Turki dan India berdiri di tepi jalan. Begitu juga penjual buku agama dan cinderamata asal Mesir. Mereka meneriakkan takbir sambil melambaikan tangan. Beberapa warga Korea yang berjualan makanan, barang elektronik, dan barang kelontong berdiri di depan toko masing-masing.

Rombongan kami tak ubahnya arak-arakan pawai. Di kampung, keluarga dan tetangga melepas kita dengan isak tangis. Sementara di Rantau Semenanjung ini kami tidak saja dilepas oleh saudara  seiman yang berbeda bangsa, tapi juga oleh warga Korea yang berlain keyakinan.  Penduduk Itaewon menghentikan sejenak aktifitas mereka. Berdiri dan melambaikan tangan di sepanjang jalan untuk melepaskan rombongan yang bertolak ke tanah suci. Labbaika allahumma labbaika…(Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA