
Proses Latihan koreografi “Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu” karya karya Siska Aprisia. foto dok KSNT
Padang, sumbarsatu.com—Koreografi terbaru “Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu” karya Siska Aprisia, membuka Pekan Nan Tumpah pada Minggu malam, 24 Agustus 2025 di Fabriek Padang.
Pekan Nan Tumpah tahun 2025 ini berlangsung hingga tanggal 30 Agustus yang mendapat dukungan dari Dana Indonesiana-LPDP Kementerian Kebudayaan mengangkat tema "Seni Murni, Seni Terapan, Seni Terserah" dengan menghadirkan pertunjukan dan pameran seni, eksisbisi, lapak buku, diskusi, film, dan pelatihan seni.
"Di dunia yang menuntut serba sempurna, Pekan Nan Tumpah memilih untuk berada di pinggirannya. Kami sedang membuka ruang untuk karya yang belum sah, bentuk yang belum selesai, dan pikiran yang belum yakin sedang jadi seni," kata Mahatma Muhammad, Direktur Festival. "Mungkin kamu tidak langsung mengerti, tapi bisa jadi, kamu menemukan sesuatu yang tidak kamu cari," tambahnya.
Sementara itu, dalam pementasan koreografi “Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu”, Siska Aprisia berkolaborasi dengan Jumaidil Firdaus sebagai penata musik, Yusuf Fadly Aser sebagai penata artistik, dan Mahatma Muhammad selaku dramaturg. Kolaborasi lintas disiplin ini akan menjadi suguhan pembuka yang memadukan kekuatan gerak, musik, visual, dan dramaturgi.
“Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu” mengangkat tubuh sebagai arsip tak resmi dari peristiwa-peristiwa yang terpinggirkan: penghakiman sosial, pahitnya perantauan, kekerasan domestik, hingga limbah simbolik dari tatanan patriarkis. Dengan strategi visual dan bunyi-bunyian yang menghantui, karya ini mempertanyakan otoritas bahasa ibu—yang semestinya merawat, namun kerap menjelma jerat,” kata Siska Aprisia dalam relis yang diterima sumbarsatu, Kamis (14/8/2025).
Disebutkannya, koreografi “Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu” merepresentasikan visual yang menghantui, bunyi-bunyian yang menggema, serta gerak yang memadukan kekuatan tubuh dan emosi—semuanya berpadu membentuk ruang di mana penonton diajak bukan hanya melihat, tetapi merasakan.
“Pertunjukan ini bukan hanya tentang Siska personal, tetapi juga tentang pertemuan energi kreatif empat seniman. Setiap langkah, nada, dan cahaya menjadi bahasa yang menyampaikan hal-hal yang sulit diucapkan,” kata Mahatma Muhammad..
Pertunjukan seni ini diyakini akan menjadi pembuka yang kuat dan menggugah untuk Pekan Nan Tumpah 2025.
Sebagai koreografer, penari, dan pegiat budaya asal Pariaman yang kini bermukim di Yogyakarta, Siska telah melanglang buana ke berbagai kota dan negara dalam sejumlah pergelaran seni. Reputasi dan kemampuannya sudah teruji, terlebih kali ini ia bekerja bersama para seniman dengan pengalaman yang tidak kalah mumpuni.
Sebelumnya, pada 27 Juli 2025, Siska menampilkan karyanya “Body Migration – I Do(n’t) Want”, hasil residensi di Jerman setelah terpilih sebagai peserta program REFLEKT bersama TanzFaktur 2024. Karya ini pertama kali dipentaskan di Köln, Jerman pada 22 November 2024, lalu kembali ditampilkan di GoetheHaus Jakarta pada 27 Juli 2025.
Dalam setiap karya, Siska kerap menjadikan ulu ambek—seni pertunjukan yang berakar dari sejenis pencak silat tanpa sentuhan fisik—sebagai basis penciptaan. Ulu ambek menampilkan konflik atau pertarungan secara estetis, sekaligus dimaknai sebagai pergulatan batin.
“Dan di situlah, di antara jeda gerak dan denting musik, “lidah” yang tersangkut itu akhirnya berbicara,” tambah Siska.
Siska Aprisia, akrab disapa Uni Siska atau Uniang, lahir di Pariaman pada 1992. Ia adalah koreografer, penari, dan pegiat budaya yang kini menetap di Yogyakarta. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Jurusan Penciptaan Seni Tari ini telah aktif menjadi koreografer sejak 2016.
Bagi Siska, seni tari di Sumatera Barat membutuhkan ruang tampil yang lebih luas. Kesadaran berbagai pihak, terutama masyarakat, untuk menyediakan ruang tersebut sangatlah penting. Dorongan inilah yang membuatnya mendirikan Ranah Batuah, komunitas yang berfokus pada pengembangan seni di Pariaman.
Dirilis dari situs https://koalisiseni.or.id, selain berkarya, Siska juga terlibat sebagai fasilitator pengembangan Desa Wisata dan festival berbasis masyarakat bersama Yayasan Umar Kayam. Beberapa karyanya telah dipentaskan di berbagai ajang, antara lain Bedog Art Festival (2018), Pandapha Art Space Yogyakarta (2017), dan Nuart Sculpture Park sebagai bagian dari alumni Sasikirana Dance Camp, Bandung (2016). Pada 2019, ia berkolaborasi dengan Abderzak Houmi dari Company Cie-xpress (Prancis), melakukan tur pertunjukan, kolaborasi, dan lokakarya di sejumlah kota di Paris.
Pada 2020, Siska berkolaborasi dengan Utari Irenza dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3, sebuah studi nilai-nilai tradisi yang digagas Gubuak Kopi. Proyek seni berbasis media ini bertujuan menemukan pandangan kritis generasi kini terhadap isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang.
Dikuratori oleh Albert Rahman Putra dengan tema “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”, Siska dan Utari menelusuri kembali kehadiran serta proses pengembangan gerak dasar menjadi konstruksi gerak baru hingga menjadi tarian.
Meski berada di dua kota berbeda—Siska di Yogyakarta dan Utari di Agam—keduanya memanfaatkan teknologi komunikasi virtual, sehingga presentasi karya mereka menjadi alternatif model pertunjukan di era normal baru.
Di sela kesibukannya, Siska rutin berbagi pengetahuan melalui akun Instagram. Ia mengundang seniman dan penggiat seni untuk berdiskusi tentang isu sosial, seni, budaya, dan perempuan.
Menurutnya, banyak seniman perempuan di Sumatera Barat memiliki potensi besar, namun belum banyak yang berani menantang diri untuk berkarya di jejaring seni tari Indonesia. Siska berkomitmen mendukung perempuan agar terus bergerak produktif dan aktif belajar bersama. ssc/mn