Danantara dan Gejolak Pasar Modal Indonesia: Madu atau Racun?

Selasa, 25/03/2025 21:51 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com—Danantara baru saja mengumumkan susunan manajemennya. Nama-nama beken turut meramaikan manajemen Danantara. Sebut saja Ray Dalio, begawan investasi dari Bridgewater, Jeffrey Sachs pengamat ekonomi dan geopolitik dari Columbia University, hingga mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra.

Keberadaan Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) nasional menjadi menarik karena nampaknya pemerintah Indonesia mengandalkan Danantara sebagai instrumen strategis jangka panjang untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara.

Menurut keterangan pemerintah, Danantara kelak tidak hanya mengonsolidasikan pengelolaan tujuh BUMN besar—seperti Pertamina, PLN, Telkom, MIND ID, BRI, BNI, dan Bank Mandiri—tetapi juga akan menyalurkan investasi ke sektor-sektor strategis seperti renewable energy, artifical intelligence, dan ketahanan pangan.

Terhadap hal ini, Center for Market Education (CME) turut menaruh perhatian besar terhadap Danantara. Betapa tidak, portofolio yang terdiversifikasi secara optimal – sesuai dengan prinsip modern portfolio theory – dapat menjadi sarana pengelolaan risiko investasi.

Langkah ini, jika diimbangi dengan tata kelola yang transparan dan independen, dapat membantu meredam tekanan pasar jangka pendek dan mengarahkan modal ke proyek-proyek global yang menjanjikan.

Dengan dukungan awal sebesar USD 20 miliar yang dialokasikan melalui pemotongan anggaran, Danantara digadang-gadang akan menjadi mesin dividen yang dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan.

Pengalaman negara tetangga, terutama skandal 1MDB di Malaysia dan keberhasilan pengelolaan Temasek oleh Singapura, menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam mengelola Danantara. Teori principal-agent menyoroti betapa lemahnya pengawasan dan intervensi politik dapat mengakibatkan penyalahgunaan dana dalam skala besar.

“Untuk menghindari nasib serupa 1MDB, Danantara harus menerapkan kerangka tata kelola (governance) yang kokoh, pengambilan keputusan yang transparan, dan standar akuntabilitas yang ketat. Peran dewan pengawas dan manajerial yang jelas, audit independen secara rutin, serta budaya organisasi yang mendorong profesionalisme menjadi kunci agar Danantara dapat beroperasi secara efektif tanpa tercemar kepentingan politik,” kata Alvin Desfiandi, Chief Economist CME, dalam relis yang diterima sumbarsatu, Selasa (25/3/2025).

Lantas apakah susunan kepengurusan Danantara yang baru diumumkan menjawab ekspektasi ini? Terlalu dini untuk menyimpulkan.

Yang jelas, kehadiran Danantara harus dilihat dalam konteks kondisi ekonomi saat ini. Betapa tidak, Danantara hadir di tengah gejolak pasar modal yang melanda Indonesia. Berita terbaru menunjukkan bahwa penurunan IHSG yang cukup signifikan medio Maret 2025 telah mengakibatkan tekanan kuat terhadap rupiah, yang semakin tertekan oleh dolar AS.

Kondisi ini memaksa Bank Indonesia (BI) mengambil langkah ekspansif, salah satunya dengan menargetkan pembelian Surat Berharga Nasional (SBN) di pasar sekunder hingga mencapai Rp150 triliun. Selain tekanan moneter yang mempersempit ruang gerak suku bunga, penurunan tingkat kepercayaan konsumen (consumer confidence) menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya konsumsi rumah tangga—yang menyumbang 54% terhadap PDB nasional.

Padahal, kita semua tahu bahwa sebentar lagi Lebaran, momen tradisional yang biasanya meningkatkan daya beli dan konsumsi. Dalam situasi ini, wajar bila desakan muncul kepada pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) agar mengambil langkah strategis untuk menyelaraskan kebijakan fiskal dan makroprudensial.

Terhadap hal ini, CME berharap  pemerintah berhati-hati agar mekanisme pasar dapat berfungsi secara alami dalam menyeimbangkan penawaran dan permintaan modal, sekaligus mencegah distorsi alokasi sumber daya. BI sebaiknya membiarkan mekanisme pasar bekerja.

Solusi jangka panjang mau tidak mau harus lebih mengutamakan pembenahan struktural dan kebijakan yang mendorong efisiensi pasar. Sebetulnya, disinilah peran Danantara krusial sebagai salah satu solusi struktural jangka panjang.

“Dengan mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan mengarahkan modal ke proyek-proyek produktif, Danantara berpotensi dapat mengurangi ketergantungan pada intervensi moneter yang sifatnya reaktif dan mendukung stabilitas ekonomi secara fundamental,” pungkas Alvin yang juga merupakan akademisi Universitas Prasetiya Mulya. SSC/REL



BACA JUGA