Mempertuhan Uang Ketimbang Iman

Jum'at, 14/11/2025 23:39 WIB

OLEH Djohermansyah Djohan

DI tengah hiruk-pikuk kehidupan Indonesia modern, saya melihat dengan keprihatinan bahwa bangsa ini sedang memasuki fase paling sunyi dalam sejarah kebangsaannya: fase ketika suara uang lebih nyaring daripada suara keimanan; ketika ukuran kehormatan direduksi menjadi besaran aset; dan ketika nilai sosial yang dahulu menjadi perekat masyarakat perlahan terkikis oleh ketamakan yang dibungkus sebagai “kebutuhan zaman now”.

Bangsa yang besar tidak diukur dari gedung-gedung megah atau angka pertumbuhan ekonomi, melainkan dari karakter manusianya—dari kejujuran yang dijaga, solidaritas yang hidup di tengah rakyat, serta rasa malu yang dipelihara sebelum seseorang tergoda untuk menyimpang. Tanpa itu semua, pembangunan hanya menjadi kosmetik yang tidak mampu menutupi keretakan jiwa bangsa.

Ketika Materialisme Menjadi Agama Baru

Hari ini kita hidup dalam masyarakat hedonistik yang semakin terpesona pada harta benda. Kekayaan tidak lagi menjadi alat, tetapi berubah menjadi tujuan. Orang tidak lagi bertanya bagaimana ia mendapatkan, tetapi berapa banyak yang dapat ia kuasai.

Gengsi menggantikan nilai sosial. Pamer kemakmuran menggeser keimanan. Ambisi menyingkirkan amanah. Padahal, masyarakat yang sehat tidak menilai seseorang dari apa yang ia punya, tetapi dari apa yang ia lakukan bagi kebaikan bersama.

Keimanan sejati tidak diukur dari simbol-simbol kasat mata, melainkan dari keberanian menjaga amanah ketika tidak ada yang melihat. Ironisnya, hari ini pengkhianatan terhadap amanah tidak lagi dianggap aib, tetapi justru dipuji sebagai “kelincahan” dalam memainkan sistem.

Gejala paling memprihatinkan dari merosotnya iman dan nilai sosial adalah hilangnya rasa malu. Ketika korupsi dianggap “risiko jabatan”, kebohongan disebut “strategi komunikasi”, dan manipulasi dihalalkan atas nama “kepentingan kelompok”, maka kejatuhan moral bangsa sedang berlangsung di hadapan kita.

Bangsa ini tidak kekurangan orang cerdas. Kita kekurangan orang jujur yang konsisten menjaga integritasnya.

Kita tidak kekurangan ahli hukum, tetapi kekurangan penegak hukum yang beriman pada kebenaran, bukan pada kepentingan pemilik modal.

Kita tidak kekurangan tokoh publik, tetapi kekurangan figur yang menempatkan kepentingan rakyat di atas dirinya sendiri.

Di tengah kerumunan itu, kita merindukan kembali figur-figur seperti Bung Hatta, Jenderal Polisi Hoegeng, dan Jenderal Soedirman—tokoh yang menegakkan integritas tanpa kamera, tanpa pencitraan, tanpa panggung. Pahlawan sejati adalah mereka yang jujur, amanah, bermanfaat bagi orang banyak, dan mengabdi tanpa kepalsuan.

Di Mana Peran Keimanan?

Keimanan tidak dimaksudkan untuk membatasi manusia, melainkan untuk mengangkat martabatnya. Tanpa iman, kekuasaan berubah menjadi kesewenangan, kekayaan berubah menjadi kerakusan, dan hukum berubah menjadi alat tawar-menawar.

Keimanan seharusnya menjadi rem moral. Nilai sosial seharusnya menjadi pagar sosial. Namun hari ini, keduanya semakin tidak terdengar. Pertanyaannya: apakah kita masih memiliki keberanian untuk kembali pada nilai-nilai itu?

Aturan bisa dibuat oleh siapa saja yang memegang kekuasaan. Tetapi akhlak hanya dapat dibangun oleh jiwa yang bersih.

Bangsa ini tidak akan bangkit jika hanya mengandalkan regulasi dan penataan kelembagaan. Reformasi hukum pun tidak akan efektif tanpa dibarengi reformasi moral. Kita memerlukan revitalisasi nilai sosial, reorientasi cara pandang, dan keberanian untuk mengatakan bahwa dominasi harta atas kehidupan ini harus dihentikan—enough is enough.

Sejarah dan agama sama-sama mengajarkan prinsip sederhana:
kemuliaan seseorang tidak terletak pada kekayaannya, melainkan pada integritasnya.

Walau kondisi hari ini terlihat buram, saya tetap percaya bahwa bangsa ini masih memiliki modal moral yang kuat. Masih banyak orang jujur yang bekerja dalam senyap, masih ada pemimpin yang mendahulukan nurani daripada kepentingan pribadi, dan masih ada warga yang percaya bahwa keadilan bukan sekadar slogan.

Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian kolektif untuk menolak budaya materialisme yang berlebihan, serta kembali pada nilai sosial dan keimanan yang dahulu menjadikan bangsa ini kuat.

Di tengah dominasi uang yang kian riuh, suara keimanan dan nurani harus kembali kita gema­kan—tidak hanya oleh kiai, pendeta, tokoh adat, dan akademisi, tetapi terutama oleh para pemimpin negeri.*



BACA JUGA