PEMENTASAN teater Pintu karya sutradara Yusril Katil yang digelar pada Senin ,malam, 10 November 2025 di Fabriek Padang.
OLEH Fitri Atul Aini (Penikmat Teater)
PEMENTASAN teater Pintu karya sutradara Yusril Katil yang digelar pada Senin malam, 10 November 2025 di Fabriek Padang. Pertunjukan Pintu hadir sebagai karya yang merekam transformasi teater pascapandemi Covid-19, sekaligus menjadi upaya merumuskan ulang bagaimana tubuh, ruang, dan kehadiran manusia bernegosiasi di era pascapandemi dan teknologi digital.
Pertunjukan teater Pintu yang didukung Komunitas Seni Hitam Putih, Komunitas Seni Nan Tumpah, sebagai rangkaian dari program Indonesia Performance Camp (IPC) 2025, berdurasi hampir 60 menit ini, menjanjikan sebuah perjalanan dramaturgis yang menantang.
Gagasan Yusril Katil, sebagaimana tertulis pada pengantar program, tidak main-main: pandemi telah mengubah cara manusia hadir, dan dunia digital membuat kita “melintas tanpa benar-benar hadir.” Namun janji dramaturgis itu tidak selalu tiba di tempat yang sama dengan eksekusinya.
Di antara kekuatan visual yang menawan, tubuh-tubuh yang berupaya keras merespons, dan simbolisme pintu yang terus diulang, Pintu justru memperlihatkan paradoks zaman digital itu sendiri: ketika kecanggihan membuat pesan semakin keras, namun sekaligus semakin kabur.
Pertunjukan dibuka dengan cara yang ganjil namun menarik. Penonton duduk dalam ruang terang, mendengar percakapan bapak-bapak yang samar tanpa konteks, dan disuguhi layar besar bertuliskan “abstrak.” Premis awal ini menggeser batas antara kesiapan dan kebingungan. Namun kesan itu berubah ketika pintu—baik sebagai objek maupun simbol—dibenturkan, dibuka, dan ditutup dengan kekuatan berlebihan berkali-kali sepanjang pertunjukan.
Simbol pintu yang kaya makna berubah menjadi efek suara yang menghantam telinga penonton. Dalam konsep postdramatik, repetisi memang dapat menjadi strategi pemaknaan. Namun dalam Pintu, repetisi itu kehilangan “ketukannya”: bukan lagi menjadi dramaturgi ambang batas, melainkan sekadar noise yang menenggelamkan gagasan utama.
Gerak tubuh para aktor memperlihatkan usaha yang mengesankan, tetapi tidak selalu berdiri di atas landasan dramaturgis yang jelas. Beberapa gerakan distilasi—menghentak dinding hingga membuat layar retak, menjatuhkan tubuh tanpa konteks—tampak seperti tubuh yang sedang memburu makna, bukan tubuh yang memberi makna. Ironisnya, inti gagasan Yusril adalah menempatkan tubuh sebagai medan negosiasi antara dunia fisik dan digital.
Dalam banyak momen, tubuh justru tampak seperti “korban” dramaturgi, bukan subjeknya. Tubuh menjadi eksekutor simbol, bukan pencipta pengalaman—sebuah problem yang kerap muncul dalam teater digital yang membawa beban teknologi terlalu berat di punggung aktornya.
Di tengah ketidakstabilan tubuh, teknologi justru tampil tenang, seperti aktor berpengalaman. Layar besar menampilkan dunia digital, TikTok, berita Covid-19, robot, serta simulasi pintu dengan akurasi visual yang konsisten. Teknologi bekerja sebagai narator kedua, memberi penonton pengalaman audiovisual yang kokoh dan mudah diikuti.
Di sinilah muncul ironi terdalam pertunjukan: ketika tubuh berjuang membuktikan eksistensi, teknologi tampil stabil, rapi, dan meyakinkan. Jika Pintu ingin mengkritik dominasi digital atas tubuh manusia, pertunjukan ini justru memperagakan dominasi itu secara langsung. Teknologi yang seharusnya dipertanyakan malah tampak lebih “cerdas” daripada tubuh yang mempertanyakannya.
Meski diklaim sebagai pertunjukan dengan pendekatan postdramatik, struktur dramatik Pintu justru bergerak linear—mulai dari peristiwa pandemi, ketakutan terhadap virus Covid-19, kemunculan teknologi, hingga akibatnya: kebohongan, hilangnya privasi, dominasi AI, dan masa depan manusia yang terasing.
Alur sebab-akibat ini memang memperjelas pesan, tetapi mengurangi potensi eksplorasi yang lazimnya ditawarkan teater postdramatik yang lebih mengedepankan pengalaman ketimbang narasi. Karena alurnya terlalu informatif, Pintu terasa lebih seperti dokumenter bersuara nyaring daripada teater yang membuka ruang tafsir dan interaksi.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah momen memikat—seperti ketika musik berpadu dengan gerak aktor yang terstruktur, atau saat visual robotik muncul dengan presisi—pertunjukan ini mencapai intensitas yang kuat. Pada momen-momen itu,
Pintu menemukan titik terang: teknologi dan tubuh tidak lagi bertarung, tetapi berdialog; suasana tidak dipaksakan, melainkan tumbuh secara organik.
Pintu adalah karya penting yang menunjukkan bagaimana teater Sumatera Barat bergerak mengikuti perubahan zaman. Gagasannya relevan, teknologi yang digunakan impresif, dan beberapa adegannya memiliki kualitas artistik tinggi. Namun di balik keberanian itu, terdapat problem estetika yang layak dikritisi: repetisi simbol yang berlebihan, tubuh yang kehilangan arah, serta dramaturgi yang terlalu menjelaskan.
Tulisan ini tidak bermaksud meruntuhkan kualitas kerja artistik yang telah dicapai, melainkan memverifikasi fenomena yang muncul—bahwa teater digital masih berada di ambang transisi antara kemampuan tubuh dan dominasi teknologi.
Pintu membuka banyak pertanyaan: dapatkah teater memulihkan kembali makna kehadiran? Ataukah selamanya kita akan menjadi penonton bagi pintu yang tak lagi membuka apa pun selain layar?*