
Saya (Zul Elvi Astar) bersama Mohammad Rani Ismael
OLEH H. Zul Elvi Astar Datuak Asa Batuah
Hampir memasuki usia ke 84 tahun pada April 2024, Pal Rani pulang ke kampung halaman yang sebenarnya pukul 05.30 WIB subuh tadi di ICU RSUP M. Djamil Padang.
M. Rani Ismael (Moris), yang bernama lengkap Sutan Mohammad Rani Ismael kelahiran Pariaman pada 20 April 1940 (usia 83 tahun) masih terlihat guras gigih dalam mengisi kegiatan dan usaha sehari-hari.
Terakhir saya bertemu pada siang Sabtu 20 Maret 2021 silam. Saya memberi tahu kepada Pak Rani bahwa saya sedang berada di Padang. Seperti lazimnya, Pak Rani mengajak saya untuk bertemu dan saya sanggupi.
Dalam perbincangan di ruang kerja perusahaannya, Pak Rani yang sudah memulai terlibat dalam usaha keluarga di usia 14 sejak pada tahun 1954 silam. Melihat kondisi fisiknya saat bertemu itu terlihat sudah sepuh, tidak setangguh bila dibandingkan dengan semangat dan kegigihannya di masa sebelumnya.
Saya sarankan agar Pak RANI memahami pemikiran Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan Indonesia, di populerkan dalam waktu sangat panjang oleh Presiden Soeharto di akhir tahun 70'an lalu, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo Ing Madyo Mangun Karso Tut Wuri Handayani.
Saran saya tersebut langsung disahuti beliau: "Datuak, peran yang akan saya lakoni sampai akhir hayat nanti adalah ketiga buah pikir Ki Hajar Dewantoro tersebut. Adakalanya posisi saya di depan dan ada pula posisi di tengah serta kadang di belakang. Pada prinsipnya saya ingin berarti dan bermanfaat untuk lingkungan." Itu penggalan pembicaraan saya dengan Pak Rani.
Sebelum berpisah, Pak Rani Ismael mengajak saya makan siang di Rumah Makan SELAMAT Jalan Pasar Raya Padang yang sudah menjadi langganannya dari tahun 1960' an silam.
Pasar Raya ini jugalah yang menjadi almamater kehidupan dan usaha “Demi Aka” beliau sampai menjadi besar dan tangguh seperti yang terlihat hari ini.
Sumatera Barat kehilangan tokoh Minangkabau, sosok yang melaksanakan tata krama orang Minangkabau, baik sebagai ayah, sebagai kawan, sebagai mamak dan sebagai pengusaha.
Saya bergaul akrab dengan Pak Rani sejak pertengahan 1989 lalu. Kami menjadi warga tetap almamater beliau di Sate Laweh di Jalan Mohammad Yamin Padang.
Di Sate Laweh ini juga lah saya memperkenalkan sahabat Gamawan Fauzi dan Hasril Chaniago di awal 1990 lalu dan sampai hari ini sosok Moris sudah dianggap seorang bapak dan kawan seperuntungan. Tentu bagi Gamawan Fauzi, pribadi Pak Rani ini punya kesan tersendiri.
Tatkala Gamawan direkomendasikan untuk jadi Bupati Solok tahun 1995 lalu, saya, Hasril Chaniago dan Pak Rani Ismael mengantarkan sampai-sampai mulai dari penggalangan tokoh masyarakat terakhir membuat posko di salah satu penginapan di tepi Danau Singkarak, berakhir saat pelantikan Gamawan jadi Bupati Solok.
Ketika Pak Rani ingin memenuhi ajakan Uda Basril Djabar untuk menuliskan perjalanan hidupnya di saat Uda Basril Djabar memberi kata sambutan di perayaan hari ulang tahun Pak Rani tahun 2014 silam. Berkebetulan hari lahir Pak Rani dan Uda Bas hanya berjarak satu hari, 20 dan 21 April. Saat itu, Uda Bas langsung menyuruh Hasril Chaniago untuk memulai mengumpuljan bahan. Dan saya salah satu yang diminta untuk menuliskan kesan, pandangan tentan sosok Rani Ismael ini.
Ketika buku hampir rampung, Pak Rani menelepon memberi tahu saya, bahwa rencananya buku itu akan diberi judul “Rani Ismael Merangkai Pulau Sumatera.” Saya tanya, apa alasan dan latar belakang judul buku Pak Rani?
Pak Rani menyahuti, saat ini sesuai dari cita Pak Sutan Kasim pendiri PT. Suka Fajar dan PT. Sutan Kasim kita sudah berhasil membuka cabang perusahaan di seluruh kota-kota di Sumatera, itu alasannya.
Saya memberi respons kalau itu bukan pribadi kerja Pak Rani, tetapi kerja keras kolektif Pak Sutan Kasim, sepupu Pak Rani, Zairin Kasim dan Moyardi Kasim. Pak Rani kembali bertanya, saran Datuak apo?
Maka saya jawab, orang akan lebih familiar dengan judul “Moris Pengusaha Demi Aka”. Karena itu kekuatan Pak Rani.
Itu sekelumit kenangan bersama Mohammad Rani ismael. Saya merasa sangat kehilangan, terkenang ketika masih berdomisili di Padang dulu, ketika hari Minggu tidak ada undangan pesta perkawinan, Pak Rani sering mengajak jalan berkeliling dari satu kota ke kota lain Bersama istri tercinta Ibu Syamsidar dan saya ikut mendampingi.
Walau hanya untuk membeli jagung rebus ke Pasa Ateh Bukittinggi ataupun hanya membeli buah ambacang ke Pasa Usang.
Hari ini ini, Jumat 29 Maret 2024 bertepatan di bulan Ramadan 1445, sosok “Demi Aka” itu pulang. Insyaallah husnul khotimah dan ditempatkan pada tempat yang sebaik baiknya di surga. Kabulkanlah ya Allah. ***