Minggu, 28/01/2024 06:36 WIB

Manasik Virtual

Biro perjalanan mengkoordinisr jamaah yang akan berangkat ke Tanah Suci Mekah

Biro perjalanan mengkoordinisr jamaah yang akan berangkat ke Tanah Suci Mekah

BERBEDA dari ibadah lain, kewajiban haji itu hanya sekali seumur hidup. Jadi, hampir tak ada orang yang terbiasa melakukannya. Pengecualian mungkin hanya bagi petugas haji, yang memang pekerjaan mereka melayani jamaah.

Oleh sebab itu, semua calon jamaah harus membiasakan diri dengan latihan. Lagi pula, doa haji itu amat banyak dan panjang-panjang. Agak sulit menghafalnya. Latihan untuk ibadah haji itu disebut dengan manasik. Saat itulah jamaah diberitahu dan dilatih melakukan ritual ibadah haji. Agar pada saatnya tiba, kita dapat menjalankannya dengan lancar di Tanah Suci. 

Di Tanah Air, manasik dilakukan secara beramai-ramai di lapangan, dengan bimbingan dari pendamping haji. Penyelenggara manasik menyediakan alat peraga berupa miniatur Ka’bah dan tiang tempat melempar jumrah. Cara memakai pakaian ihram pun diperagakan. Tentu saja peragawan/wati amatirnya masih memakai pakaian lengkap hingga ke bagian dalam. Begitu pentingnya proses manasik ini bagi calon jamaah haji, sampai-sampai sebuah biro perjalanan haji di Padang melengkapi sarana manasik milik mereka dengan beberapa ekor unta.

Tak ada yang tahu pasti, kenapa binatang berpunuk itu ikut menjadi bagian dari kelengkapan manasik. Bisa jadi, kehadiran unta itu dimaksudkan agar jamaah bisa merasakan suasana padang pasir sambil melaksanakan manasik. Mungkin juga agar jamaah membiasakan diri bercengkerama dengan unta. Yang jelas, meski lahir dan besar di Mekah, unta tentu saja tak pernah berhaji. 

Tapi bukan tidak mungkin juga ada semacam keyakinan bahwa haji mabrur hanya bisa dicapai jika kita menunaikannya sambil menunggang unta. Misalnya seperti dilakukan Nabi dan para sahabat zaman dahulu kala. Dalam hal keyakinan tak ada yang tak mungkin bukan?  Bukan hal aneh jika ada jamaah yang meyakini bahwa bibit padi yang didoakan sasmbil berhaji  di Mekah akan subur tumbuhnya dan tahan terhadap hama. Orang-orang yang punya keyakinan demikian dengan sengaja membawa beberapa genggam bibit padi dari desa untuk didoakan saat naik haji.  Ada lagi yang meyakini bahwa kain penutup Ka’bah itu bisa menjadi jimat yang manjur. Mereka pun  menggunting kiswah Ka’bah untuk dijadikan jimat dan dibawa pulang. Mereka tak peduli bahwa tindakan kriminal demikian bisa membuat kain penutup Ka’bah menjadi compang camping. Yang peting buat mereka adalah mendapat jimat yang ampuh.  Ajaran agama, mitos, dan keyakinan tak bernalar jadi campur aduk.

 Di Korea, kami bermanasik dengan mandiri. Calon jamaah haji tinggal di kota yang berjauhan sehingga sulit untuk berkumpul. Kebanyakan calon jamaah adalah pekerja pabrik. Mereka lebih suka memanfaatkan waktu libur mereka untuk kerja lembur. Lagi pula, masjid jarang dan letaknya berjauhan. Maka untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat, kami harus melakukan manasik sendiri.

***

Seluruh dokumen yang diperlukan telah lengkap dan diteruskan ke Kedutaan Saudi Arabia. Kedutaan Saudi akan memverifikasi data sebelum mengeluarkan visa haji. Kini semua kami menunggu kabar dari kedutaan dan biro perjalanan. Kapan visa mungkin bisa diambil?

“Tak ada jadwal pasti untuk masalah itu. Semuanya tergantung kedutaan Saudi Arabia. Kita hanya bisa berdoa agar visa semua jamaah segera bisa selesai secepatnya,” ujar Mbak Dyas. Saya memanfaatkan masa tunggu itu dengan membaca buku pedoman haji terbitan Departemen Agama Republik Indonesia yang diberikan oleh biro perjalanan. Buku berukuran kecil itu desainnya tidak menarik sama sekali. Ukuran hurufnya kecil, tata letak berantakan, dan karakter hurufnya terlalu tajam. Akibatnya, saya jadi malas dan cepat lelah saat membacanya. Karena hanya itu yang tersedia,  beberapa kali saya mencoba membaca dan memahaminya. Hasilnya, tetap saja saya tak nyaman membaca buku itu. Akhirnya saya mencari alternatif lain melalui internet; mendengarkan ceramah tentang ibadah haji di kanal Youtube.

Manasik virtual menjadi solusi alternatif terbaik bagi jamaah haji di Korea. Semua orang punya telepon genggam dan bisa mengakses internet dari mana saja. Sebagian besar penduduk Negeri K-Pop ini sudah amat akrab dengan dunia digital itu. Internet dan data digital digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari. Sejak dari mencari lowongan kerja, melihat ramalan cuaca, berbelanja, hingga membayar uang parkir. Lagipula, sebagian besar calon jamaah haji adalah anak muda melek teknologi. Mereka sudah akrab dengan dunia digital.

Selain itu, biro perjalanan Golden Bridge juga memberikan manasik melalui platform Facebook Grup. Secara periodik, di platform itu diunggah penjelasan tentang ritual dan perjalanan haji. Termasuk berbagai persiapan yang harus dilakukan. 

***

Apartemen tempat tinggal saya terletak di lingkungan kampus. Fasilitas yang disediakan lengkap sekali; sejak dari fasilitas memasak, mencuci, olahraga, hiburan, dan tentu saja internet. Akses internet Korea dikenal tercepat sedunia. Kita dengan mudah dan cepat bisa meringkas dunia di genggaman tangan. Dunia virtual layaknya perpustakaan tak berdinding dengan referensi luas tentang masalah agama. Siapa pun bisa mendengar ceramah agama melalui fasilitas virtual itu.  Juga bisa memilih dai yang cocok dan kita senangi.

Ada dai yang berceramah dengan rasa humor dan penuh canda. Ada juga yang berceramah layaknya guru TK; berdakwah dengan suara pelan dan penuh wejangan. Tak kurang banyaknya yang berceramah bagai demontrans; nada suaranya keras dan sambil menunjuk-nunjuk ke arah pendengarnya. Beragam sekali bentuk dan model ceramah yang bisa didengar.

Setelah menonton berkali-kali ceramah haji dari beberapa dai dan ulama, akhirnya saya memilih ceramah dari Ustaz Adi Hidayat. Penjelasan Ustad Adi Hidayat mudah dipahami. Ceramahnya sistematis, jelas, dan selalu disertai dalil yang lengkap dcngan argumen yang masuk akal. Ia juga punya serial ceramah khusus tentang haji. Inilah referensi yang saya pilih untuk manasik virtual. Saya bisa mendengarkan ceramah sambil duduk, memasak, maupun tiduran. Kemajuan teknologi memudahkan saya untuk menyiapkan diri untuk berhaji.

***

Pada awal Agustus, saya mendapat kabar bahwa seluruh dokumen keberangkatan haji telah selesai. Artinya sudah ada kepastian untuk berangkat. Pada hari yang sama saya langsung mengambil seluruh dokumen ke kantor biro perjanalan Golden Bridge di Itaewon. Di tempat itu saya bertemu calon jamaah haji lainnya, yang sebagian besar berusia di atas dua puluhan tahun. Mereka bekerja di Korea hanya satu atau dua tahun setelah tamat SMA/SMK. Pada tahun kedua atau ketiga bekerja, mereka memutuskan untuk naik haji. Maka, selama berhaji, saya akan bersama-sama jamaah muda sepantaran anak saya. Jamaah yang penuh semangat dengan wajah riang berseri. 

Usai makan malam saya mengecek dan merapikan semua dokumen haji yang baru diambil. Dengan tercenung saya memandangi semua dokumen itu. Mencoba memahami takdir baik yang segera saya jalani. Kenangan saya melayang pada dialog dengan orang tua dua puluh tahun lalu di kampung.    

Saat itu keluarga kami baru saja mendapat kabar bahwa adik saya nomor empat, Khairul Huda, akan berangkat haji. Khairul berprofesi sebagai pedagang di Pasar Jatinegara, Jakarta. Di antara seluruh saudara, dialah yang pertama kali naik haji. Seharusnya hal itu disyukuri, bukan? Entah kenapa, saya malah bertanya dengan nada protes pada Buya, panggilan kami pada orang tua laki-laki.

“Aneh juga nasib ini,” ujar saya sambil menghembuskan nafas.

“Kenapa?” tanya Buya.

“Khairul satu satunya di antara kami yang tidak sekolah agama. Kok malah dia yang pertama diberi Tuhan kesempatan naik haji?” tanya saya dengan nada protes. “Sedangkan kami yang semuanya sekolah agama, jangankan berangkat haji, tanda-tanda bisa menabung buat biaya haji saja belum ada.”

Emang naik haji itu soal sekolah?” balas Buya dengan nada ringan. “Naik haji itu, selain panggilan hati nurani adalah soal biaya. Soal uang. Nah, adikmu itu pedagang dan punya uang. Sedangkan kamu?”

Khairul adalah saudara yang istimewa; dia satu-satunya anak yang menolak sekolah di madrasah.  Tamat SD dia melanjutkan ke SMP. Kelas dua SMP, dia malas sekolah, dan akhirnya berhenti. Dia memutuskan untuk ikut mamak kami yang berdagang di Jakarta. Beberapa tahun bersama mamak, ia mencoba mandiri dan berhasil. Saat yang lain masih bertarung memenuhi kebutuhan dasar, Khairul sudah diberi rezeki dan naik haji pada usia tiga puluh dua tahun.

Bisa jadi, itulah bentuk keadilan Tuhan pada keluarga kami; kesempatan pertama naik haji justru diberikan kepada anak yang tidak belajar di sekolah agama. Kini, semua kami yang laki-laki telah menunaikan ibadah haji. Tapi yang dipanggil Pak Haji hanya Khairul seorang. Sedangkan yang lain hanya dipanggil nama atau gelar adatnya saja.

Akan halnya saya sendiri, menurut teman-teman, memang “kurang alim’ dari segala arah. Sejak dari nama, tampilan, apalagi tingkah laku. “Oleh sebab itu, kau tak layak dipangggil Pak Haji,” ujar mereka. Saya tak tahu, entahkah itu pujian, kritik, atau cemooh. Yang jelas saya harus menerima kenyataan, tak pernah disapa dengan panggilan Pak Haji hingga kini. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA