Letakkan Sesuatu pada Tempatnya (Tinjauan Sosiologi Politik dalam Analisis Teori Simulakra Jean Baudrillard)

Minggu, 24/12/2023 17:35 WIB
MOMON

MOMON

OLEH Lismomon Nata (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Padang)

“Sekarang jika kita keluar rumah sudah tidak membuat mata kita nyaman lagi, karena dimana- mana ada gambar- gambar (foto) yang ditempelkan, bahkan pohon, tempat sampah, kuburan sekalipun, coba jika hanya pohon hijau saja, tentu sangat asri bukan!

Sebuah pernyataan yang diutarakan oleh seorang warga tersebut mendorong penulis untuk menuliskanartikel ini.Kalimat yang diutarakan di atas, membuat saya berfikir dan merasa- rasa akan ada benarnya juga yangia ungkapkan. Terlepas apakah itu sebuah pandangan subjektif atau objektif, tentu setiap orang memiliki persepsi yang berbeda dengan alasan yang berbeda- beda pula.Namun itulah kenyataan yang ada atas trend perpolitikan di Indonesiapasca reformasi hingga kini.

Kenyataannya di manapun kita dapat melihat banyak billboard, baliho, spanduk yang dipajangkan bahkan pada body mobilsekalipun sengaja menonjolkan gambar- gambar (foto) seseorang calon anggota legislatif atau kepala daerah, cenderung tidak lagimengutamakan pesan atau isi yang ingin disampaikan kepada orang banyak, melainkan layaknya sebuah figura besar tempat meletakan foto yang pada dinding rumah tidak ada tempat lagi.

Dengan demikian, pesan atau isi bukanlah menjadi pokok informasi yang ingin disampaikan tetapiuntuk menampilkan gambar atau foto di dalamnya. Cara tersebut kecendrungandianggap sebagai cara efektif dalam komunikasi politik  di ranah publik.

Menurut Jean Baudrillard, komunikasi politik tersebut telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang didalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral dengan menggunakan teknologi atau media (imagology of politics).Dalam pandangan Baudrillard manusia menggunakan tanda dan citra sedemikian rupa. Tanda atau citra tersebut mencampur adukan antara  realitas yang asli dengan palsu, realitas dengan fantasi, kenyataan dengan fatamorgana, citra dan realitas, yang keseluruhan bertujuan untuk meggiring realitas kearah sesuatu yang ‘dibuat- buat’ dan palsu agar terlihat sebenarnya. Dimana dalam simulacra tersebut memiliki enam logika yang ia tampilkan.

Pertama, logika citra (logics of image) yaitu bagaimana dalam sebuah media yang digunakan dibuat sedemikian rupa, menggunakan gambar- gambar yang semenarik mungkin serta memilih foto yang ‘terbaik’, meskipun itu tidak seutuhnya asli. Gambar atau foto yang ditampilkan tidak jarang dengan penuh rekayasa, termasuk dengan menggunakan teknologi digital yang canggih. Semuanya itu dibuat dengan tujuan untuk menciptakan sebuah citra atau kesan yang ‘sempurna’ bagi siapa saja yang melihatnya.Usia tua bisa tampak lebih muda atau warna kulit, ukuran tubuh dapat dipaskan sesuai dengan selera.

Kedua, logika tontonan (logics of spectacle) yaitu bagaimana dalam media menampilkan gambar atau foto yang menarik mata- mata, seperti gambar atau foto yang lebih besar dibandingkan dengan pesan yang ingin disampaikan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya tempat yang dianggap strategis untuk meletakan media luar ruang tersebut di perempatan jalan, dekat dengan traffic lamp. Nah, hanya dalam hitungan beberapa detik itulah dalam logika tontonan bagaimana dengan begitu banyak media yang dipajang untuk ‘berebut’ mata- mata yang melewatinya. Begitupun pada mobil- mobil yang dipenuhi dengan gambar atau foto, sementara ia berjalan di jalanan yang kecendrungannya dengan  kaca mobil yang tertutup.

Ketiga, logika diskontiniutas (logics of discontiniutas) yaitu apa yang ada pada gambar atau foto memperlihatkan tidak adanya hubungan sama sekali dengan pesan yang ingin disampaikan. Misalnya saja, bagaimana seorang calon yang akan ‘berlaga’ untuk menjadi anggota legislatif atau calon kepala daerah mengucapkan selamat hari raya hari besar sebuah agama tertentu atau pesan-pesan lainnya, maka ia menampilkan fotonya lebih besar daripada pesan (tulisan) yang ingin ia sampaikan.

Keempat, logika berlawanan (logic of perversity). Artinya, tanda atau simbol yang digunakan diproduksi dalam rangka memainkan peran ‘seolah- olah’ atau ‘seakan- akan’ (as if), walaupun kadangkala tanda atau simbol bertolak belakang dengan yang sebenarnya. Kelima, logika disinformasi (logic of disinformation) yaitu informasi yang ingin disampaikan, kecendrungannya tidak cocok dengan tanda atau gambar yang dimunculkan dan yang terakhir adalah logika skikosa (logic of schizophrenia) yaitu sebuah keterputusan antara simbol, tanda dengan makna- makna yang sebenarnya. Menurut hemat penulis, keenam logika simulacra ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan apa yang dilakukan oleh media tentu saja bukalah sesuatu yang salah, begitupun harapan dari para politikus untuk mencitrakan diri serta menghadirkan diri mereka di tengah- tengah masyarakat yang nota benenya akan menjadi konstituennya.

Namun pada sisi lain, disamping ‘tuntutan trendy politik’ masa kini, tentu ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada kita bersama, diantaranya adalah apakah gambar- gambar, foto- foto tersebut yang akan menjadi ‘wakil’ dari ribuan atau jutaan rakyat yang akan menyampaikan aspirasinya? Atau apakah hanya gambar atau foto itu yang akan mewakili kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap calon atau pemimpinnya? Bahkan gambar- gambar, foto tersebut terkesan tidak hanya diperuntukan bagi manusia- manusia secara elegan, seperti tidak jarang kita menyaksikan poster- poster yang ditempelkan di rumah- rumah kosong, semak belukar hingga tong sampah bahkan pohon- pohon sekalipun.

Pada sisi lain, baliho, spanduk, poster setelah ‘perhelatan rakyat’ berlangsung akan menjadi ‘tumpukan sampah’ yang sulit untuk diurai karena terbuat dari bahan plastic.Bagi yang berbaik hati APK akan dijadikan sebagai pengganti kain untuk menutupi atau pembatas sesuatu dan bahkan ada pula yang fotonya dilobangi matanya, ‘dihilangkan’ kepalanya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah mengeluarkan regulasi melalui Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Pasal 70 dan 71 ada beberapa tempat yang dilarang Alat Peraga Kampanye (APK) untuk dipasangkan di sana, salah satunya yang terkait dengan lingkungan adalah dilarang pad ataman dan pepohonan. Fakta, masih saja dari APK tersebut dtempelkan pada pohon-pohon, namun seberapa banyak yang masih peduli? Bahkan tempat pemasangan APK atau bendera-bendera partai yang diikatkan pada kayu di sepanjang jalan, kayunya condong ke jalan, sementara itu jalan protocol, yang tentu saja dapat membahayakan masyarakat atau pengguna jalan.

Kenyataan sosiologis mengungkapakan di Indonesia, terkhususnya di Sumatera Barat memang efek dari penggunaan media tersebut dianggap ampuh untuk memperkenalkan calon kepada khalayak ramai, namun kenyataan ataupun perlu diuji kembali secara ilmiah penulis pikir.Jika benar adanya kolerasi antara banyak atau besarnya media luar ruang yang digunakan akan berbanding lurus dengan keberhasilan Sang calon dalam pemilihan.

Hal ini mengingatkan nostagia penulis sewaktu kecil dahulunya, dimana seorang teman akan disukai, dihargai, ketika ia memiliki gambar yang banyak, ataugambar yang ia jagokan selalu menang dalam permainan yaitu main gambar-gambar. Walaupun jika kita perhatikan pada beberapa negara di luar negeri, mereka begitu ‘apik’ dalam menggunakan media (tidak sembarangan tempat pemasangan, teratur dan jumlah tertentu).

Satu hal yang terpenting pula untuk diperhatikan adalah tentu agar kita selalu peduli dengan keberlangsungan lingkungan alam, pohon dan kehidupan sosial bersama dengan memperhatikan nilai serta norma yang ada, dengan harapan harmonisasi hidup terus terjaga. 



BACA JUGA